Universitas Airlangga Official Website

Pakar HAM UNAIR: Pemaksaan Jilbab pada Siswi Merupakan Bentuk Pelanggaran Hak Anak

Ilustrasi by Megapolitan Kompas

UNAIR NEWS – Isu pemaksaan jilbab pada siswi-siswi di Indonesia kembali mencuat ke publik. Di awal Agustus 2022, seorang siswi SMAN 1 Banguntapan Bantul, mengalami depresi berat akibat dipaksa mengenakan jilbab oleh guru-guru di sekolahnya. Tentunya ini bukanlah suatu insiden yang terisolir. Human Rights Watch telah mengeluarkan laporan pada 2021 silam dimana terdapat berbagai aturan berpakaian yang diskriminatif, dimana siswa perempuan dipaksa untuk memakai jilbab. Rapor buruk dan stigmatisasi akan mengelindani bagi mereka yang tidak memakai atau melepas jilbab.  Tak jarang pula, ketentuan tersebut hingga menyasar pada siswa perempuan yang tak memeluk agama Islam.

Untuk mengeksplor isu tersebut lebih lanjut, tim redaksi mewawancarai Pakar HAM UNAIR Zendy Wulan Ayu SH LLM. Zendy mengatakan bahwa pemaksaan jilbab di ruang pendidikan Indonesia lahir kurangnya toleransi terhadap pilihan dan keyakinan seorang anak. Ia menambahkan bahwa ada nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat kita bahwa melihat yang berbeda itu buruk, sehingga muncul upaya penyeragaman-penyeragaman paksa seperti ini.

“Padahal, anak itu juga memiliki hak asasi manusia yang harus dihormati oleh semua orang. Hak-hak mereka diatur dalam Convention on the Rights of the Child (CRC), dimana Indonesia telah meratifikasinya via Keppress 36/1990. Disitu, anak dipandang layaknya orang dewasa yang memiliki hak-hak asasi secara utuh. Namun, CRC juga memberikan pengaturan terhadap bagaimana peran orang tua dalam mengarahkan dan membimbing anak-anaknya,” ujarnya pada UNAIR NEWS (24/8).

Berdasarkan Pasal 14, Zendy menekankan bahwa negara harus menghormati hak anak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Kebebasan tersebut hanya boleh dibatasi oleh hak asasi orang lain, serta pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral umum. Dalam Pasal 3 CRC, terdapat pula prinsip yang mengamanatkan bahwa perlindungan hak anak harus berdasar pada kepentingan terbaik anak (best interest of child). Namun, Zendy menuturkan bahwa implementasi dari prinsip ini hendaknya tidak dimaknai untuk membolehkan kebijakan yang diskriminatif dan kebebasan beragamanya.

“Dalam Pasal 5 konvensi ini, Negara harus menghormati pengarahan dan bimbingan pada anak yang dilakukan oleh orang tua atau orang-orang lain yang secara hukum bertanggung jawab atas anak tersebut. Namun, pemerintah tetap harus membantu keluarga melindungi hak-hak anaknya, serta menyediakan panduan sesuai tahapan usia agar tiap anak dapat belajar menggunakan haknya dan potensinya secara penuh,” tutur alumni European University Viadrina Frankfurt itu.

Zendy mengakhiri wawancara dengan menuturkan bahwa kebijakan pemaksaan jilbab tidak dapat dimaknai sebagai bimbingan untuk kepentingan terbaik anak, karena kentalnya akan unsur diskriminasi dan intoleransi. Selain itu pula, sekolah-sekolah negeri yang merupakan bagian dari negara, harus bisa menghormati bimbingan orang tua pada anaknya.

“Kedepannya, lembaga yang berwenang baik di bidang pendidikan, ataupun juga Pemerintah, Daerah harus menggunakan kewenangannya dalam mengawasi beberapa kebijakan yang dapat berpotensi melanggar hak anak,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan