Universitas Airlangga Official Website

Pakar HTN UNAIR Nilai Revisi UUP3 Hanya Formalitas

Potret suasana salah satu Rapat Paripurna DPR (Sumber: Tirto.id)

UNAIR NEWS – Perubahan kedua dari UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUP3) telah didok oleh DPR pada 15 April silam. Kontroversi mencuat dari pengesahan legislasi ini karena dianggap hanya menjadi siasat untuk memberlakukan kembali UU Cipta Kerja, serta gagal untuk menjawab problematika tata kelola regulasi Indonesia. Untuk mengeksplor lebih jauh, tim redaksi mewawancarai Pakar HTN UNAIR Dr. M. Syaiful Aris pada Kamis siang (2/6/2022).

Aris menjelaskan bahwa kehadiran revisi ini adalah untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020, yang menetapkan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat. Hal ini dikarenakan bahwa UUP3 pra-revisi masih belum mengenal metode omnibus law dalam pembentukan Undang-Undang. Sehingga, MK memberi kesempatan pada DPR dan Presiden untuk memperbaiki hukum pembentukan peraturan perundang-undangan, serta mengkaji ulang keberatan masyarakat terkait substansi UU Cipta Kerja.

“Rasanya pengesahan revisi UUP3 ini hanya menjadi formalitas agar UU Cipta Kerja kembali dinyatakan konstitusional dengan mengikutkan metode omnibus law dalam substansinya, dan saya kurang sependapat dengan hal tersebut. Padahal bilamana melihat putusan MK tersebut, DPR dan Presiden diharuskan pula untuk mengkaji UU Cipta Kerja secara materiil. Jadi, persoalannya tak sekadar formil tetapi materiil pula,” ujar Wakil Dekan II FH UNAIR itu.

Ilustrasi potret Pakar HTN UNAIR Dr. M. Syaiful Aris (Sumber: Jawa Pos)

Mengatakan bahwa revisi UUP3 hanyalah sekadar formalitas ini terbias dalam aspek pengaturan partisipasi publik. Menurut Aris, pemberian hak masyarakat untuk memberikan masukan dalam Pasal 96 belum memberikan perubahan signifikan dalam persoalan partisipasi publik. Ia menambahkan bahwa hal ini disayangkan, mengingat bagusnya kualitas Naskah Akademik legislasi tersebut. Naskah tersebut membandingkan dengan Amerika Serikat, dimana partisipasi publik menjadi suatu kewajiban dalam proses pembentukan dan pengesahan suatu peraturan perundang-undangan.

“Padahal, dalam putusan MK tersebut mengharuskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus terdapat partisipasi bermakna (meaningful participation). Terdapat tiga aspek dalam partisipasi bermakna, yakni: hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk dijelaskan. Sayangnya, hal tersebut tidak hadir dalam UUP3,” ujar mantan Kepala Bidang Hukum UNAIR itu.

Catatan kritis lainnya yang diberikan oleh Aris adalah terkait dibolehkannya perbaikan teknis penulisan suatu RUU pasca pengesahan di Rapat Paripurna DPR. Ia mengatakan bahwa bilamana tak ada pedoman/standarisasi atas ketentuan tersebut, maka akan membuka ruang untuk perubahan substansi suatu RUU pasca pengesahan.

“Ini merupakan suatu problem, dan itu terjadi di saat UU Cipta Kerja dimana substansi berubah pasca pengesahan. Seharusnya itu tidak boleh, dan UUP3 jangan sampai memberi ruang untuk membolehkan praktik tersebut,” tekan mantan Direktur LBH Surabaya itu.

Aris menegaskan bahwa revisi UUP3 masih belum menjawab secara komprehensif dari pelaksanaan putusan MK. Seharusnya, upaya revisi ini dapat dijadikan momentum untuk mengejawantahkan prinsip partisipasi yang bermakna. Ditambah pula, ia mengatakan bahwa seharusnya partisipasi publik tidak diatur sebagai hak, melainkan kewajiban dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan