Universitas Airlangga Official Website

Pakar Hukum Adat UNAIR Ulas Pluralisme Hukum di Minangkabau

Pakar Hukum Adat UNAIR Joeni Arianto Kurniawan PhD saat memaparkan materi pada webinar Asosiasi Studi Sosio-Legal Indonesia. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Frans & Keebet von Benda-Beckmann adalah pasangan suami istri yang mendedikasikan karirnya sebagai antropolog hukum. Dalam penelitiannya, berbagai wilayah di Indonesia kerap kali dijadikan objek penelitian. Franz wafat pada tahun 2013 silam, sementara awal Oktober lalu Keebet juga berpulang. Untuk mengenang keilmuan dari Franz dan Keebet, Asosiasi Studi Sosio-Legal Indonesia menggelar webinar tribut pada Sabtu malam (29/10/2022).

Pakar Hukum Adat UNAIR Joeni Arianto Kurniawan PhD dihadirkan sebagai narasumber pada malam itu. Dalam materinya, ia mengulas penelitian mereka berdua pada lanskap pluralisme hukum di masyarakat Minangkabau. Disitu, hukum nasional, hukum adat, dan hukum Islam saling berkelindan dan berkontestasi untuk menjadi hukum yang berlaku. Joeni menjelaskan bahwa dinamika pluralisme hukum disana dapat dijelaskan pada prinsip adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (adat berdasarkan syariat, syariat berdasarkan Kitab).

“Namun, pengedepanan hukum Islam di masyarakat Minangkabau acapkali menghasilkan praktik-praktik diskriminatif terhadap minoritas agama di sana. Provinsi Sumatera Barat pada 2020 silam masuk ke dalam 10 besar provinsi dengan jumlah kasus pelanggaran kebebasan beragama terbanyak,” ujar Direktur Pusat Studi Pluralisme Hukum FH UNAIR itu.

Joeni mencontohkan eksistensi Perda Kota Padang 5/2011 yang mewajibkan pemakaian jilbab bagi siswi, termasuk mereka yang tidak beragama Islam. Prinsip bahwa kearifan lokal harus selaras dengan syariat Islam dijadikan legitimasi untuk pembauran paksa minoritas terhadap mayoritas. Joeni menekankan bahwa keberadaan pluralisme hukum tidak boleh dijadikan alasan untuk melanggar HAM. Seharusnya penjagaan pluralisme hukum hendaknya diibaratkan seperti layang-layang, sebagaimana Joeni mengutip teori Werner Menski.

“Terdapat empat matra dalam layang-layang, dan tidak boleh ada salah satu matra yang lebih berat ketimbang yang lain. Bila tidak, maka layang-layang tersebut akan jatuh. Begitu pula dengan bagaimana Menski melihat hukum. Terdapat empat matra yang menjadikan hukum itu plural, yakni: hukum agama/moral/alam; hukum adat/kebiasaan; hukum nasional; dan hukum internasional (termasuk pula HAM),” terang alumni Università di Pisa itu.

Berkaca pada teori tersebut, Joeni menekankan bahwa tugas para yuris dan pembuat hukum untuk menjaga keempat matra dari pluralisme hukum tersebut. Tidak boleh ada salah satu matra hukum yang lebih mendominasi, atau akhirnya hukum gagal untuk menciptakan perlindungan HAM terhadap masyarakatnya. Joeni menutup materinya dengan mengapresiasi karya-karya Frans & Keebet yang memperkaya pemahaman pluralisme hukum di Indonesia.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan