Universitas Airlangga Official Website

Pakar Hukum Pemilu FH UNAIR Komentari Pernyataan Ketua KPU RI Soal Sistem Pemilu

Ilustrasi by Hukumonline

UNAIR NEWS – Belakangan ini, masyarakat diramaikan dengan pernyataan dari Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) soal sistem pemilihan umum (pemilu). Dalam pernyataannya, Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa dirinya lebih setuju apabila sistem pemilu legislatif di Indonesia diselenggarakan dengan sistem proporsional tertutup. Perihal itu, Dr Mohammad Syaiful Aris SH MH LLM yang merupakan pakar pemilu Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) menyampaikan komentarnya dalam wawancara dengan UNAIR NEWS pada Jumat (6/1/2023). 

Menurut Dr Aris, tidak sepatutnya Ketua KPU RI memberikan pandangan yang mengarah pada kesetujuan terhadap suatu wacana oleh kelompok tertentu. Hal itu mengingat wacana sistem pemilihan dengan sistem proporsional tertutup merupakan wacana yang bergulir di kalangan partai politik peserta pemilu. Apalagi, tambahnya, pernyataan Ketua KPU RI tersebut dapat memengaruhi kemandirian KPU RI.

“Diatur dalam Pasal 22E UUD NRI 1945, yaitu pemilu diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Untuk itu, perlu bagi KPU untuk tetap menjaga kemandiriannya. Ketika ada satu pandangan (sistem proporsional tertutup, red) yang  dilontarkan oleh kelompok tertentu, pastinya ada pihak yang yang pro dan kontra. Sebaiknya penyelenggara pemilu tidak masuk pada arah itu. Sebaiknya, KPU menjaga prinsip kemandirian itu karena akan mempengaruhi kualitas dan netralitas KPU,” tegas Dr Aris.

Menambahkan penjelasannya, Dr Aris menjelaskan bahwa tidak heran jika banyak yang menolak sistem proporsional tertutup. Hal itu karena sistem tersebut berpotensi menimbulkan oligarki di partai politik. Selain itu, sistem proporsional terbuka memberi kebebasan bagi pemilih untuk memilih calon secara langsung.

“Sistem proporsional tertutup sudah pernah diterapkan di Indonesia, mulai dari pemilu 1955 sampai dengan pemilu 1997. Kelemahannya, partai menjadi begitu besar (peranannya, red) sehingga oligarki di partai begitu kuat. Itu karena nomor urut kursi ditentukan oleh partai politik. Hal inilah yang dianggap tidak demokratis di internal partai. Oleh karena itu, mulai pada pemilu tahun 2004, sistem pemilu menjadi proporsional terbuka. Karena sistem proporsional terbuka,  orang lebih bebas menentukan pilihannya, jadi, kalau ada orang yang bagus dan dikehendaki masyarakat bisa dipilih,” jelas Dr Aris.

Lanjutnya, Dr Aris memiliki pandangan tersendiri terhadap sistem pemilihan yang ideal diterapkan di Indonesia. Pandangannya berbeda dari pendapat yang banyak saling bertentangan antara sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional terbuka. Ia berpandangan bahwa sistem pemilu yang ideal diterapkan adalah sistem pemilu distrik. 

“Saya lebih condong ke sistem pemilu distrik karena nantinya akan mendorong penyederhanaan partai politik maka akan membawa keseimbangan dengan sistem presidensial di Indonesia. Sistem pemilu proporsional membuat wakil rakyat cenderung menjadi loyal ke partai. Padahal, sistem pemilu diharapkan dapat memperkuat relasi dan akuntabilitas wakil rakyat dengan konstituennya. Sistem pemilu distrik akan mendorong kualitas wakil rakyat karena rakyat akan langsung memilih calon wakil rakyatnya. Calon yang tidak dikenal cenderung tidak diterima sehingga diharapkan ada hubungan baik antara wakil rakyat dengan yang diwakili,” papar Dr Aris.

Penulis: Fredrick Binsar Gamaliel M

Editor: Nuri Hermawan