Universitas Airlangga Official Website

Pakar Hukum Pemilu UNAIR Soroti Perkembangan Proses Pemilu Tahun Ini

Ilustrasi Sengketa Hasil Pemilu. (Sumber: HGW)

UNAIR NEWS – Banyak pihak yang mulai mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan sengketa hasil Pemilu. Terkait hal ini, pakar hukum Pemilu Universitas Airlangga (UNAIR), Dr Mohammad Syaiful Aris SH MH LLM, menerangkan sengketa hasil Pemilu sendiri penyelesaiannya memang telah ada dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945.

“Perselisihan hasil Pemilu diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi harus menunggu Penetapan Hasil Pemilu dari KPU. Quick count tidak bisa dijadikan rujukan, harus real count,” ujarnya ketika diwawancara UNAIR NEWS pada Selasa (27/2/2024).

Penetapan Hasil Pemilu baru akan dikeluarkan oleh KPU maksimal tanggal 20 Maret 2024. Dengan demikian, gugatan sengketa hasil Pemilu belum dapat diajukan pada saat ini. 

“Sengketa hasil Pemilu hanya dapat diajukan oleh peserta Pemilu. Yang berwenang memutuskan sengketanya ialah MK. Batas waktunya maksimal tiga hari setelah Penetapan Hasil Pemilu oleh KPU,” papar dosen Fakultas Hukum UNAIR yang disapa Aris tersebut.

Dalam hal ini, sambung Aris, peserta Pemilu harus dapat membuktikan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya peserta Pemilu. Apabila tidak mempengaruhi penentuan terpilihnya peserta Pemilu, maka tetap berhak diajukan karena termasuk ke dalam hak komplain yang dilindungi oleh undang-undang.

MK, lanjutnya, dalam memutuskan sengketa hasil Pemilu juga harus menjaga keseimbangan dalam dua aspek.

“MK harus menjaga keseimbangan dalam aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Aspek kuantitatif berkaitan dengan aspek kepastian hukum, yaitu dari penghitungan perolehan suara. Sedangkan, keseimbangan dalam aspek kualitatif artinya MK harus melihat apakah para pihak dapat membuktikan ‘fakta mempengaruhi kualitas proses’ atau tidak,” tutur Aris.

Pakar Hukum Pemilu UNAIR Soroti Perkembangan Proses Pemilu Tahun Ini

‘Fakta mempengaruhi kualitas proses’ yang dimaksud ialah apakah para pihak dapat mendalilkan prosesnya tidak jujur atau tidak fair, karena hakim MK bersifat pasif. Tujuan dari menjaga dua aspek keseimbangan ini yaitu agar terwujudnya kemanfaatan dan keadilan. Sehingga Pemilu dapat menjadi pembelajaran dalam perbaikan sistem dan tata kelola pemerintahan yang baik.

“Persyaratan prosedur pengajuan gugatan diatur dalam Peraturan MK serta Pasal 473 sampai dengan Pasal 475 Undang-Undang Pemilu,” imbuh Aris.

Kemudian, apabila terdapat indikasi kecurangan yang terjadi sebelum proses pendaftaran calon, maka tidak dapat mengajukan gugatan setelah Penetapan Hasil Pemilu dikeluarkan oleh KPU.

“Kecurangan sebelum proses pendaftaran calon masuk dalam tahapan sektor pelanggaran administratif, kode etik, ataupun sengketa proses Pemilu, bukan dalam tahapan sengketa hasil Pemilu. Dalam hal ini, yang berwenang memprosesnya sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang ialah KPU, Bawaslu, DKPP, atau PTUN, bukan MK,” terang Aris.

Aris turut menambahkan sengketa hasil Pemilu yang diputus oleh MK dapat berupa permohonan tidak dapat diterima, permohonan dikabulkan, pembatalan hasil penghitungan suara, hingga permohonan ditolak.

“MK juga bisa melakukan hal-hal tertentu di luar itu. Misalnya memerintahkan untuk melakukan Pemilu ulang atau meminta penghitungan suara ulang. Semuanya tergantung proses pembuktian di MK,” ucapnya.

Sebagai penutup, Aris menyampaikan pendapatnya mengenai Pemilu tahun ini. Menurutnya, sistem Pemilu Presiden yang menggunakan sistem absolute majority dan persebaran suara sudah bagus. Pasalnya, hal itu menunjukkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih harus mendapat dukungan mayoritas masyarakat Indonesia dan masyarakat dari Sabang-Merauke. Namun, syarat presidential threshold harus ditinjau lagi agar pilihan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dapat mempertandingkan putra-putri terbaik Indonesia.

Sementara itu, penggunaan sistem proporsional terbuka pada Pemilu legislatif ia rasa kurang cocok dengan negara Indonesia. Menurut Aris, sistem proporsional terbuka seharusnya dikombinasikan dengan sistem distrik, karena dapat lebih membangun kedekatan antara rakyat dengan wakil rakyat di DPR. 

Sistem Pemilu Serentak, sambungnya, juga dirasa kurang cocok untuk diterapkan di Indonesia karena model lima kotak membuat masyarakat menjadi lebih sulit memilih. Penghitungan suara oleh penyelenggara juga menjadi rumit. 

“Sebaiknya Pemilu dipisah antara Pemilu Nasional Serentak dan Pemilu Daerah Serentak. Pemilu Nasional Serentak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, dan DPD. Kemudian, 2,5 tahun berikutnya, terselenggara Pemilu Daerah Serentak untuk memilih Kepala Daerah (Gubernur dan Walikota), DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota supaya masyarakat bisa fokus kepada isu kedaerahan,” tegas Aris.

“Isu kedaerahan seharusnya menjadi perhatian. Kalau Pemilunya dijadikan satu seperti ini, orang-orang akan lebih fokus kepada isu nasional dibandingkan dengan isu daerah,” tukasnya. (*)

Penulis : Dewi Yugi Arti

Editor : Nuri Hermawan