Universitas Airlangga Official Website

Pakar Hukum Pidana Pers FH UNAIR Berikan Materi Peringati Hari Pers Nasional

Dr Astutik SH MH saat memaparkan materi (SS Zoom)

UNAIR NEWS – Badan Semi Otonom (BSO) Solidaritas Mahasiswa Hukum untuk Indonesia Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) menyelenggarakan webinar bertajuk “Pers Bebas, Demokrasi Bermartabat” pada Sabtu (11/2/2023). Dalam webinar tersebut, hadir dua pemibaca, yaitu Totok Hariyono SH selaku komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dr Astutik SH MH selaku dosen pidana pers di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR). Dalam materinya, Dr Astutik SH MH menjelaskan perihal makna dari kemerdekaan pers. 

“Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Makna dari kemerdekaan ini adalah agar pers bisa melaksanakan fungsinya, yaitu sebagai media informasi, media pendidikan, media hiburan, media kontrol sosial, dan lembaga ekonomi,” tegas Dr Aris.

Menambahkan penjelasannya, Dr Astutik memperjelas apa yang dimaksud dengan kebebasan pers tersebut. Kebebasan pers, tambahnya, dijamin sebagai hak asasi warga negara. Hal itu membuat peran pers menjadi penting untuk mendorong tegaknya keadilan dan kebenaran.

“Kebebasan pers atau freedom of the press adalah hak masyarakat untuk mengetahui (right to know) masalah-masalah atau fakta publik, dan di sisi lainnya hak masyarakat dalam mengekspresikan pikiran dan pendapatnya (right to expression). Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara oleh karena itu tidak boleh ada penyensoran, pembredelan, dan pelanggaran penyiaran serta pers nasional mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi,” jelas Dr Astutik.

Lanjutnya, Dr Astutik menjelaskan bagaimana perkembangan kebebasan pers dari masa ke masa di Indonesia. Ia menjelaskan bagaimana pers berkembang pada masa Orde Lama dan Orde Baru, Reformasi, hingga masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai dengan sekarang. 

“Masa Orde Lama dan Orde Baru, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo daripada membangun kelembagaan antar fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif, dan kontrol publik (pers). Sementara itu, pada masa Reformasi, kebebasan pers mulai terbuka lebar ketika Presiden Habibie mencabut beberapa peraturan yang menghambat pembebasan pers, seperti SIUPP, SIT, dsb. Lalu, pada masa Presiden SBY sampai sekarang telah terbentuk pers yang bertanggung jawab dan konsumen pers yang bertanggung jawab,” papar Dr Astutik.

Pada akhir, Dr Astutik mengutip pernyataan Imam Syafii dan Ki Hajar Dewantara perihal pentingnya kemerdekaan pers.

“Tidak ada sesuatu yang paling berharga melebihi kemerdekaan pers dan tidak ada kebahagiaan yang paling besar selain melaksanakan kewajiban dengan baik sebagaimana Imam Syafii. Lalu, bergerak dan berpikirlah bebas, tetapi harus diingat pula kebebasan orang lain. Hormatilah juga kebebasan orang lain sebagaimana pernyataan Ki Hajar Dewantara,” tutup Dr Astutik.

Penulis: Fredrick Binsar Gamaliel M

Editor: Nuri Hermawan