Universitas Airlangga Official Website

Pakar Hukum Pidana UNAIR Soroti Kasus ACT dan Penyalahgunaan Donasi Umat

Dr Toetik Rahayuningsih SH M Hum (kiri) dalam diskusi bertajuk ‘ACT dan Penyalahgunaan Donasi Umat: Perspektif Pidana’, Senin (11/07/2022). (Foto: Dokumentasi Pribadi)

UNAIR NEWS – Belakangan ini sebuah kasus sedang mencuat terkait dugaan penyelewengan dana oleh sebuah lembaga kemanusiaan besar di Indonesia, Aksi Cepat Tanggap (ACT). Dana donasi yang disumbangkan donatur diduga dialokasikan untuk bisnis pribadi hingga jaringan terorisme. Hal ini tentu menimbulkan berbagai pertanyaan.

Dr Toetik Rahayuningsih SH M Hum, seorang pakar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) turut memberikan tanggapan. Menurutnya, karena proses hukum kini masih sampai tahap ‘dugaan’, maka diskusi mengenai ACT harus dilakukan dengan hati-hati. Hal ini disampaikan Toetik dalam diskusi yang diselenggarakan FH bertajuk ACT dan Penyalahgunaan Donasi Umat: Perspektif Pidana.

“Tidak perlu putusan pengadilan untuk membubarkan korporasi ACT ini, karena dia izinnya merupakan (usaha, Red) sosial. Yang berwenang menutup sementara adalah Kementerian Sosial selagi (dilakukan, Red) pemeriksaan Bareskrim,” ujar alumnus sarjana Universitas Airlangga tersebut, Rabu (13/7/2022).

Menurut Toetik, ACT sebagai lembaga zakat mungkin melihat adanya celah di antara besarnya pendapatan donor yang didapatkan. Bagaimana tidak, ACT telah didirikan sejak 2005 dan menunjukkan performa yang bagus selama bertahun-tahun. Reputasi ini kemudian membuat lebih banyak orang memilih ACT sebagai penampung amal. Terlebih dengan pengalaman ACT bekerja sama dengan yayasan luar negeri.

Ahyudin, eks presiden ACT dalam wawancara. (Foto: Detik.com)

Beberapa Kebijakan

Menurut Toetik, ada beberapa kebijakan yang harus dipertimbangkan dalam menyelidiki kasus ACT. Hal ini dikarenakan ACT terlibat dugaan pengiriman dana ke jaringan terorisme. Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, terdapat rekaman transaksi ACT kepada satu di antara 19 teroris yang berafiliasi dengan Al-Qaeda.

Di antaranya, tukas magister Universitas Diponegoro tersebut, terdapat setidaknya tiga undang-undang yang harus dipertimbangkan apabila dugaan terhadap ACT terbukti benar. Misalnya, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pencucian Uang, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Kasus ACT ini kemudian menimbulkan suatu gagasan apakah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga pelaporan harus ditambah wewenangnya. PPATK nantinya tidak hanya jadi lembaga intelijen, tetapi juga penegak hukum. Hal ini dirasa Toetik tidak perlu. Yang paling penting adalah bagaimana PPATK mengoptimalkan fungsi-fungsinya sebagai sebuah lembaga.

Toh, kalau wewenang PPATK ditambah, hal ini butuh sumber daya yang banyak. Belum lagi ada unsur politis terkait keputusan ini dan banyak konsekuensi lainnya karena PPATK punya data,” ujar Toetik.

Sebagai informasi, acara yang dihadiri Toetik merupakan bagian dari Diskusi Publik Bagian Hukum Pidana FH UNAIR. Tak lupa juga, dalam acara tersebut Pusat Studi Anti-Korupsi dan Kebijakan Hukum Pidana (CACCP) menjadi mitra kolaborasi. Pendapat Toetik disiarkan secara langsung via kanal YouTube FH UNAIR dan media Zoom. (*)

Penulis: Deanita Nurkhalisa

Editor: Binti Q. Masruroh