Universitas Airlangga Official Website

Pakar Hukum UNAIR Soroti Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia

Ilustrasi hukum peradilan anak (Sumber: Kompas)
Ilustrasi hukum peradilan anak (Sumber: Kompas)

UNAIR NEWS – Maraknya kasus y ang melibatkan pelaku tindak pidana anak menjadi perhatian khusus di kalangan masyarakat. Belakangan ini, santer terdengar kabar anak-anak melakukan tindakan pemerkosaan atau tindak pidana lainnya yang secara jelas melanggar dalam hukum. Mengenai hal itu, Amira Paripurna SH LLM PhD, pakar hukum pidana anak, Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) turut angkat suara.

Amira mengatakan bahwa secara khusus telah ada aturan tindak pidana anak yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. “Pada prinsipnya, undang-undang sistem peradilan pidana anak mementingkan konsep proporsionalitas terhadap anak. Proporsionalitas yakni efek jera dari sanksi pidana tetap penting, namun aspek hak asasi anak juga harus diperhatikan,” ujarnya.

Amira menjelaskan bahwa bagi pelaku anak terdapat beberapa kategori sanksi, salah satunya pembinaan. Tindakan pembinaan, harus melalui koordinasi nantinya oleh hakim kepada balai pemasyarakatan untuk menyesuaikan kondisi dari anak tersebut. Lebih lanjut, undang-undang sistem peradilan pidana anak mengkategorikan umur anak dengan berat atau ringannya tindak pidana yang terjadi.

“Pembinaan ini merupakan sanksi untuk mempertimbangkan bahwa pelaku anak mendapatkan efek jera dan menyesuaikan dengan tindak pidananya. Pada kategori tertentu, ketika ancaman penjara dalam undang-undang mengatur lebih dari tujuh tahun, memungkinkan pelaku anak mendapatkan hukuman penjara. Sebagaimana yang telah tertuang pada Pasal 79 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak,” tuturnya.

Amira Paripurna SH LLM PhD, pakar hukum pidana UNAIR (Sumber: Humas FH UNAIR)

Amira mengatakan bahwa utamanya pelaku anak di bawah umur 12 tahun, dapat dilakukan upaya diversi. Diversi yaitu penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

“Diversi dapat dilakukan, dengan catatan tetap menyesuaikan terhadap berat atau ringannya tindak pidana yang terjadi menurut undang-undang,” ungkapnya.

Amira menyebutkan bahwa dari perspektif kriminologi, seseorang melakukan tindak pidana berdasarkan kehendak bebasnya. Namun hal ini berbeda dengan anak. Pengaruh anak melakukan tindak pidana adalah akibat dari kondisi lingkungan sekitarnya. “Untuk memutus perkara tindak pidana anak, hakim juga mempertimbangkan aspek lingkungan dari pelaku anak,” katanya.

“Melihat tindak pidana anak, tidak semata-mata hanya mengutamakan peran peradilan. Justru peran keluarga, sekolah, dan kondisi lingkungan tempat anak bermain, berpengaruh terhadap perilaku anak. Perlu adanya peran seluruh aspek, untuk mencegah perilaku menyimpang yang anak-anak lakukan,” pungkasnya.

Penulis: M. Akmal Syawal

Editor: Yulia Rohmawati