Universitas Airlangga Official Website

Pakar Kebijakan Publik Soroti Rencana Perubahan Subsidi KRL Jabodetabek

Pengamat Kebijakan Publik UNAIR Soroti Rencana Perubahan Subsidi KRL Jabodetabek
Ilustrasi KRL Commuter Line di Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat. (Foto: Kompas.com)

UNAIR NEWS – Pemerintah berencana untuk mengubah subsidi KRL (kereta rel listrik) atau commuterline Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) mulai tahun 2025. Rencana tersebut tertuang pada Buku II Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 yang pemerintah serahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada akhir Agustus lalu. 

Pemerintah berharap perubahan tersebut dapat membuat anggaran subsidi Kewajiban Pelayanan Publik atau Public Service Obligation (PSO) menjadi lebih tepat sasaran. Namun, rencana subsidi KRL tersebut menuai sejumlah protes dari sejumlah kalangan dan kelompok masyarakat.

Menanggapi hal tersebut, dosen sekaligus pengamat kebijakan publik Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr H Jusuf Irianto Drs MCom mengungkapkan bahwa isu terkait subsidi memang sudah menjadi permasalahan yang mengakar setiap tahunnya. 

Pakar kebijakan publik Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr H Jusuf Irianto Drs MCom Soroti Rencana Perubahan Subsidi KRL Jabodetabek (Foto: Istimewa)

“Masalah subsidi dari tahun ke tahun sifatnya endemik dan seringkali tidak tepat sasaran. Pemerintah menetapkan subsidi kereta rel listrik berbasis NIK dengan harapan dapat menjamin keadilan. Hal itu mungkin saja terjadi asalkan data NIK di Kementerian Sosial (Kemensos) valid dan reliabel,” ujar Prof Jusuf.

Lebih lanjut, Prof Jusuf memaparkan tantangan terbesar dalam mewujudkan kebijakan subsidi KRL ialah manajemen data. Menurutnya, pemerintah nantinya harus memastikan agar subsidi yang berjalan bisa tepat sasaran dan menjangkau kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan. 

“Terdapat beberapa kasus krusial seperti bantuan sosial (bansos), bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, dan pupuk bersubsidi yang pada praktiknya tidak sesuai dengan sasaran. Oleh karena itu, pemerintah harus serius dalam menangani masalah dengan melakukan manajemen data,” paparnya. 

Tidak hanya manajemen data, Prof Jusuf menyoroti terkait bertambahnya jumlah penduduk miskin membuat pemerintah mengkaji lebih lanjut kebijakan tersebut. Ia menekankan pentingnya menimbang kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum membuat sebuah kebijakan baru yang berdampak pada sebagian besar masyarakat.

“Pemerintah harus menimbang kondisi sosial ekonomi. Terutama dengan bertambahnya penduduk miskin dan menurunnya jumlah kelas menengah akibat jatuh miskin, PHK, dan sebagainya. Menurut saya kondisi ini harus pemerintah perhatikan lagi, sekaligus menunda kebijakan tersebut sampai kondisi sosial ekonomi masyarakat bisa kembali membaik,” ucap Guru Besar FISIP UNAIR itu. 

Terakhir, Prof Jusuf juga menambahkan terkait pentingnya kesiapan infrastruktur teknologi dan data kependudukan di Indonesia untuk mendukung kebijakan berbasis NIK. Ia menekankan perlunya peningkatan sistem manajemen data kependudukan dan dukungan teknologi yang kuat agar kebijakan ini dapat berjalan efektif.

“Ini termasuk yang kemudian perlu diperhatikan pula. Jika manajemen data belum bagus ditambah dengan infrastruktur yg belum siap, maka khawatir akan menimbulkan kekacauan yang berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam pelayanan publik,” pungkasnya. 

Penulis: Adinda Aulia Pratiwi

Editor: Yulia Rohmawati