UNAIR NEWS – Film dokumenter garapan sutradara Dandhy Laksono berjudul “Dirty Vote” menjadi perbincangan hangat dalam kalangan masyarakat Indonesia. Film berdurasi hampir 2 jam tersebut rilis pada Sabtu (11/02/2024) melalui kanal Youtube PSHK Indonesia dan Dirty Vote. Film yang mengangkat isu terkait kecurangan dalam Pemilu 2024 itu telah berhasil mencapai 7 juta penonton dalam waktu 24 jam perilisannya.
Kepada UNAIR NEWS (13/02/2024), Dr Suko Widodo Drs M Si, pakar komunikasi politik sekaligus dosen komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, memberikan tanggapan terkait perilisan film “Dirty Vote”. Menurutnya, atensi publik terhadap film itu terbentuk dari narasi kecurangan pemilu yang telah tumbuh sejak lama.
“Munculnya film tersebut seperti pemuas bagi echo chamber. Perlu juga dipahami bahwa banyak masyarakat yang mempertanyakan legitimasi pemerintah terkait netralitas pemilu. Sehingga, ‘Dirty Vote’ hadir selayaknya monumen yang menjadi simbol narasi-narasi ketidakpuasan masyarakat,” jelas Suko.
Unsur Keberpihakan
Munculnya atensi masyarakat mengundang terbentuknya pihak yang pro dan kontra. Salah satu argumen yang masif terlontar dari pihak kontra adalah terkait pembuatan film itu terkesan memihak kelompok tertentu dan menjatuhkan kelompok lainnya. Ada pula tanggapan dari pihak pro bahwa film ini menjadi penting sebagai sarana edukasi politik pada publik.
Melihat hal tersebut, Suko berpendapat bahwa film “Dirty Vote” dapat masuk dalam dua kategori tersebut, yaitu film edukasi dan kritik. “Edukasi menunjukan bahwa sejatinya kontestasi politik tidak jauh dari perebutan kekuasaan. Film ini juga menjadi kritik pada pemerintah, meskipun kebenaran narasi dalam dirty note perlu dikonfirmasi dalam dialog politik,” papar Suko.
Unsur keberpihakan dari film “Dirty Vote” juga menjadi sebuah pembahasan penting karena film tersebut merupakan produksi dari pihak yang salah satunya mendukung sebuah gerakan dari pasangan calon tertentu. Selain itu, sutradara dari film tersebut yaitu Dandhy Laksono merupakan sosok yang juga pernah merilis film kritik menjelang pemilu 2019 berjudul “Sexy Killers”.
“Dalam ruang riset, analisa kualitatif memang memungkinkan menjadi analisa yang subjektif. Pada intinya, perlu elaborasi lebih jauh dalam ruang dialektika oleh intelektual. Sehingga, konfirmasi kebenaran tidak hadir oleh satu kelompok tertentu,” ujar Suko menanggapi isu keberpihakan film “Dirty Vote”.
Efek Samping
Salah satu kritik terkait perilisan film “Dirty Vote” adalah film itu rilis saat “masa tenang” jelang Pemilu 2024. Namun, Suko berpendapat bahwa hal tersebut tidak memberikan efek besar yang dapat mengganggu jalannya Pemilu. Film itu, lanjut Suko, hanya merupakan kliping berita-berita kecurangan yang banyak diberitakan media sebelumnya.
“Jika melihat dalam lingkup kecil, memungkinkan gejolak pada kelompok swing voters yang belum memiliki pilihan tetap. Namun, sepertinya film itu tidak akan mengganggu jauh berjalannya Pemilu. Karena pada dasarnya, yang dibahas dalam film ini adalah narasi-narasi yang sudah banyak dikonsumsi sebelumnya,” ungkap Suko.
Selanjutnya, Suko memberikan komentar bahwa tokoh politik seharusnya menanggapi kemunculan film “Dirty Vote” dengan lebih terbuka tanpa melakukan konfrontasi pada perilisannya. “Biarkan narasi ‘Dirty Vote’ menjadi konsumsi yang berujung pada penilaian masyarakat. Namun sayangnya, bagi beberapa politikus itu menjadi ladang untuk menggiring opini publik meskipun sedang pada masa tenang menjelang Pemilu,” pungkas Suko.
Penulis: Adinda Aulia Pratiwi
Editor: Nuri Hermawan