UNAIR NEWS – Demonstrasi mahasiswa beberapa waktu yang lalu memperlihatkan poster-poster yang diindikasi menunjukan sisi seksisme dari sudut pandang komunikasi simbolik. Hal tersebut diungkapkan oleh dosen komunikasi UNAIR, Nisa K M Med Kom ketika diwawancarai pihak UNAIR NEWS pada Senin (19/4/2022).
Nisa mengungkapkan bahwa poster demonstrasi tahun 1998 dibandingkan dengan saat ini sangatlah berbeda, karena poster tersebut menuntut hanya satu tujuan saja yaitu reformasi pada saat demonstrasi tahun 1998. Namun tuntutan mahasiswa saat ini diekspresikan dengan berbagai bentuk karena adanya perkembangan industri kreatif. Perubahan sektor kerja yang dulunya lebih banyak dihabiskan di meja kantor, kini terdapat pekerjaan di bidang industri kreatif.
“Orang kemudian secara pemikiran bertransformasi bahwa ada cara lain dalam mengekspresikan diri melalui kreativitas tersebut. Kemudian munculah poster-poster yang sangat relate dengan kehidupan mahasiswa saat ini,” jelasnya.
Misalnya, sambung Nisa, “Ayo buruan selesai nih harga skincare keburu mahal karena kepanasan”. Jika dilihat dari simbol-simbol itu digunakan, simbol tersebut tendensi ke arah seksisme.
Poster Seksisme dalam Demonstrasi Mahasiswa
Semacam penyederhanaan kegiatan politik menjadi kegiatan yang sangat spesifik yaitu kegiatan seksual, karena suatu barang dikomparasikan dengan skincare yang tidak sebanding nilainya. Selain itu ada salah satu poster yang menyampaikan bahwa lebih baik bercinta 3 ronde daripada 3 periode, dari poster tersebut muncul pertanyaan mengapa bercinta 3 ronde dibandingkan dengan masa pemerintahan presiden 3 periode ? Terlebih yang membawa poster tersebut adalah perempuan.
“Sehingga akar dari seksisme tersebut mungkin tidak hanya dalam satu gender tertentu, tapi mungkin sudah mendarah daging di semua gender. Saat ini terulang kembali narasi yang muncul, sehingga semakin mengukuhkan bahwa bisa dikomparasikan antara kegiatan seksual dengan perpanjangan masa pemerintahan presiden,” ungkap dosen Komunikasi FISIP UNAIR tersebut.
Artinya ekspresi yang dimunculkan tersebut memiliki konsekuensi yang merendahkan harga diri mereka sendiri, yang mana mereka tidak sadari ketika mereka membuat poster tersebut simbol itu bekerja di antara dua arena. Arena kesadaran yang sifatnya penuh dan ada yang sifatnya dibawah kesadaran.
“Ada yang melihat secara detail dan menyadari orang yang membawa poster dengan tulisan-tulisan yang tidak sebanding, dan ada orang yang tidak melihat secara detail poster dengan tulisan-tulisan tersebut,” jelasnya.
Mahasiswa Harus Lebih Kreatif dalam Mengekspresikan Diri
Selain itu, ada salah satu bentuk protes yang menurut Nisa lebih kreatif dan tidak tendensi menuju seksisme yaitu ketika cuitan Megawati mengenai naiknya harga minyak goreng. Ia menyampaikan “Ngapain digoreng kan bisa direbus”. Darisitu muncul salah satu video di social media yang menunjukan seorang penjual peyek sedang menanggapi cuitan itu dengan menuruti apa yang disampaikan Megawati yaitu merebus peyek jualannya.
“Tentunya tidak berbentuk sebuah peyek dong, yang kemudian bisa dikatakan gagal. Nah hal tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk protes yang menurut saya lebih kreatif. Dia tidak perlu mengatakan bahwa aku tidak suka pernyataan anda, bahwa kebutuhan minyak adalah kebutuhan primer,” ungkapnya.
Menurut Nisa, video tersebut lebih kreatif dibandingkan dengan mahasiswa yang menampilkan poster yang relate dengan keadaan mahasiswa yang tendensi pada seksisme. Sehingga, Nisa berpesan kepada mahasiswa untuk lebih kreatif dalam mengekspresikan diri terutama ketika membawa kepentingan publik, karena apabila poster yang konteksnya seksisme sudah dibidik dan disebarkan oleh media massa, maka poster tersebut bukan hanya ujaran saja. Tapi sudah memuat konsep yang disebut diskursus.
“Jadi lebih kreatif dalam mengekspresikan diri ketika membawa kepentingan publik, agar tendensi kearah seksisme yang terjadi secara tidak sadar tidak terulang kembali,” pesannya.
Penulis: Ananda Wildhan Wahyu Pratama
Editor: Khefti Al Mawalia