Universitas Airlangga Official Website

Pakar Politik UNAIR Komentari Pemberian Gelar Kehormatan Prabowo Subianto

Ilustrasi Pemberian Tanda Bintang ke Prabowo. (Foto: Kemhan RI)

UNAIR NEWS – Berbagai pengamat memberikan catatan khusus tentang seberapa layak sosok Prabowo memperoleh gelar kehormatan Jenderal Bintang Empat. Irfai Afham SIP MSi, pakar politik Universitas Airlangga (UNAIR), turut mengomentari pemberian gelar kehormatan ini sebagai indikasi adanya politik transaksional.

“Tentu sepak terjang Prabowo di politik praktis nasional tidak bisa terlepas dari masa menjelang lengsernya Presiden Soeharto. Kini Prabowo menjadi calon presiden berpasangan dengan Calon Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka, putra presidenn aktif, Joko Widodo,” ucap Irfai kepada UNAIR NEWS pada Jumat (15/3/2024).

Menurut Irfai, Prabowo merupakan salah satu tokoh kuat di penghujung rezim Orde Baru, terutama ketika menjabat sebagai panglima kostrad. Peran Prabowo pada masa pendudukan Timor Timur serta penangkapan dan penculikan para aktivis demokrasi pada 1998 mendapatkan kritik keras. Utamanya dari para akademisi dan media, baik media nasional maupun media internasional.

“Pasca berbagai dinamika dalam demokratisasi yang terjadi, Prabowo kala itu muncul sebagai aktor yang tersudutkan dan terlempar dari percaturan politik nasional selama beberapa tahun. Prabowo juga berhenti dari karier militernya dan tuntutan untuk mengadili Prabowo, Presiden Soeharto, beserta kroni-kroninya mulai muncul di masyarakat,” tutur pengajar Departemen Ilmu Politik UNAIR tersebut.

Irfai mengatakan pada akhir masa Orde Baru dan awal Reformasi memang merupakan masa-masa yang sulit untuk Prabowo. Namun, beberapa tahun kemudian, tepatnya pada Pemilu Presiden 2009 Prabowo kembali ke dalam percaturan politik nasional dengan mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri.

“Kini, dalam posisi yang sementara unggul di Pemilu Presiden 2024, kritik keras terutama yang berkaitan dengan isu-isu hak asasi manusia muncul seiring terkuaknya latar belakang dan sepak terjang Prabowo,” ujar Irfai.

“Pengalaman 32 tahun otoritarianisme di bawah kediktatoran militer masih menyisakan simbol-simbol militer sebagai komponen yang signifikan dalam perpolitikan nasional, meskipun militer relatif tidak dapat mengintervensi pemerintahan secara langsung,” tambahnya.

Irfai menilai ada upaya pengaburan rekam jejak sejarah dan sepak terjang Prabowo dalam pemberian gelar kehormatan Jenderal Bintang Empat ini. Masyarakat, lanjutnya, dapat melihat pola penegasan signifikansi simbol militer dalam perpolitikan nasional yang tercermin dalam pemberian gelar kehormatan untuk Prabowo.

“Misalnya, Prabowo akan dianggap sebagai sosok yang berjasa bagi negara dan dianggap aktor kuat yang berlatar belakang militer,” cetus Irfai.

Abaikan Kritik 

Irfai menyayangkan sikap pemerintah yang terlalu terburu-buru dan cenderung mengabaikan berbagai kritik yang masuk terkait pertimbangan pemberian gelar kehormatan tersebut, sebab masih banyak persoalan yang membelit Prabowo semasa ia berkarier di ABRI, mulai dari kasus 1998 hingga kasus di Timor Timur.

“Prabowo seharusnya menuntaskan berbagai persoalan itu dahulu sebelum mengambil lompatan dalam perpolitikan nasional. Pengobralan gelar kehormatan tidak akan cukup untuk menutup berbagai permasalahan terkait hak asasi manusia di masa Orde Baru yang masih belum tuntas karena masih akan melekat dalam sejarah nasional dan dunia,” papar Irfai.

Ia juga menegaskan seharusnya gelar kehormatan menunjukkan status sebagai “yang terhormat” dan merepresentasikan suatu sumbangsih yang sangat besar dan patriotik dalam mendorong serta mewujudkan kepentingan bangsa, bukan hanya untuk kepentingan politik praktis jangka pendek.

“Kepentingan bangsa yang lebih luas dan lebih besar seharusnya didahulukan dibandingkan kepentingan politik praktis mana pun. Harus ada keseriusan dan dorongan untuk menuntaskan persoalan-persoalan ini dan membuka sejelas-jelasnya serta seterang-terangnya apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu dan masa kini,” pungkasnya. (*)

Penulis : Dewi Yugi Arti

Editor : Nuri Hermawan