Universitas Airlangga Official Website

Pakar UNAIR Soroti Pergantian Jenis Kelamin Perempuan di Banyuwangi

Ilustrasi simbol seksual lajki-laki dan perempuan (Foto: Espos.id)
Ilustrasi simbol seksual lajki-laki dan perempuan (Foto: Espos.id)

UNAIR NEWS – Kabar pengajuan pergantian jenis kelamin perempuan ke laki-laki di Banyuwangi kembali menuai perhatian publik. Kondisi tersebut masuk dalam disorders of sexual development (DSD) atau gangguan perkembangan seksual. Kondisi ini terjadi ketika perkembangan organ seksual seseorang terganggu akibat faktor genetik maupun kromosom. Walau bisa saja memerlukan tindakan korektif organ seksual/reproduksi, pasien tersebut bukan termasuk individu yang mengalami masalah disorientasi seksual.

Pakar Andrologi dan Seksologi Universitas Airlangga (UNAIR), dr Cennikon Pakpahan SpAnd menegaskan, pemahaman lebih luas mengenai DSD sangat perlu untuk mengurangi stigma sosial yang masih kuat dalam masyarakat. Secara umum, individu memang dikenal dengan kromosom 46,XX sebagai perempuan dan 46,XY sebagai laki-laki. “Namun dalam beberapa kasus terjadi kelainan yang menyebabkan individu dengan kromosom tertentu. Hingga memiliki karakteristik seksual yang berbeda dari genotipe atau kromosomnya,” katanya.

Dalam perkembangan organ kelamin, terdapat gen SRY dalam kromosom Y yang berperan menstimulasi perkembangan organ kelamin menjadi testis. Jika terjadi mutasi atau gangguan pada gen ini akan menyebabkan individu dengan kromosom 46 XY mengalami kelainan perkembangan gonad (organ kelamin). Seperti testis yang tidak berkembang sempurna atau tidak tampak sama sekali. Bahkan bila terjadi perpindahan gen SRY ke salah satu kromosom X, akan menyebabkan individu  dengan tampilan laki-laki namun memiliki kromosom 46,XX.

Pakar Andrologi dan Seksologi Universitas Airlangga (UNAIR), dr Cennikon Pakpahan SpAnd (Foto: Istimewa)
Pakar Andrologi dan Seksologi Universitas Airlangga (UNAIR), dr Cennikon Pakpahan SpAnd (Foto: Istimewa)

“Banyak jenis DSD yang disebabkan oleh faktor kromosom maupun genetik. Dalam beberapa kasus individu dengan 46, XX dapat mengalami translokasi gen SRY. Sehingga berkembang dengan karakteristik fisik laki-laki dan begitu pun sebaliknya,” jelas dosen Kedokteran FIKKIA dan FK UNAIR itu.

Lebih lanjut, dr Cennikon juga menekankan bahwa DSD bukanlah masalah disorientasi seksual. Melainkan kondisi medis yang berhubungan dengan masalah kromosom, perkembangan organ seksual dan hormon. Stigma masyarakat yang masih buruk terhadap individu dengan DSD seringkali membuat pasien menutup diri  dan mengalami tekanan psikologis yang berat. Bahkan mereka enggan melapor atau berobat jika mengalami gejala.

“Masyarakat perlu memahami bahwa ini bukan operasi ganti kelamin. Akan tetapi, penyesuaian organ kelamin berdasarkan kondisi organ yang memang sudah ada,” jelasnya. 

Gangguan perkembangan seksual ini dapat dikenali sejak lahir melalui pemeriksaan kromosom, pencitraan organ dengan USG atau MRI, serta analisis hormonal. Bahkan sejak dalam kandungan, deteksi gangguan ini sudah bisa dilakukan. Pemantauan perkembangan organ fisik reproduksi dapat segera mendeteksi DSD hingga masa pubertas.

Deteksi awal sederhana dapat dilakukan oleh orang tua atau individu sendiri dengan memastikan laki-laki memiliki dua buah testis/buah zakar dan mengalami pertambahan ukuran penis. Sedangkan perempuan dapat terlihat dari pertumbuhan payudara dan menstruasi.

“Semakin cepat diketahui, semakin baik bagi psikologis anak dan pola asuh anak ke depan. Jika dibiarkan, pada masa usia remaja bisa muncul tanda-tanda yang berbeda dari seharusnya. Seperti keterlambatan perkembangan seksual atau kelainan pada organ reproduksi. Hal ini akan berimbas luas pada masalah psikologis dan hubungan sosial anak,” tambahnya.

Penulis: Azhar Burhanuddin 

Editor: Yulia Rohmawati