UNAIR NEWS – Tragedi Kanjuruhan lalu hingga saat ini masih meninggalkan duka mendalam. Tak hanya bagi para penyintas dan suporter, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Indonesia. Berbagai kajian dari pelbagai disiplin ilmu pun telah dilakukan untuk menakar penyebab dan langkah apa yang seharusnya diambil pihak berwajib dalam menangani hal ini.
Turut menanggapi tragedi Kanjuruhan, Sekolah Pascasarjana UNAIR menggelar sebuah Webinar bertajuk “Tragedi Kerusuhan Suporter: Bagaimana Konteksnya dalam Multidisiplin Manajemen Bencana?” pada Kamis (6/10/22). Dipandu oleh dr. Arief Hargono, drg. M.Kes, webinar itu mencoba menggali faktor risiko hingga langkah penanganan yang seharusnya diupayakan oleh berbagai pihak.
Dokter Christijago Sumartono, pakar Manajemen Bencana FK UNAIR, memulai diskusi dengan pendekatan manajemen risiko. Pada awal, ia menjelaskan terlebih dahulu definisi bencana serta dalam level mana suatu peristiwa dapat dikatakan sebagai bencana. Dalam penuturan dr. Christ, suatu peristiwa dapat disebut sebagai bencana jika memenuhi tiga aspek, yaitu terjadinya peristiwa dan gangguan, gangguan mengancam kehidupan, mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan masyarakat untuk menolong.
Merujuk pada aspek bencana tersebut, maka kerusuhan Kanjuruhan yang menyebabkan korban berjatuhan dapat dikategorikan sebagai sebuah bencana. Lalu, bagaimana langkah preventif yang harus dilakukan jika dilihat dalam perspektif manajemen bencana?.
Pakar Kebijakan Kesehatan Masyarakat UNAIR, Satya Haksama memaparkan lebih jauh terkait dengan langkah preventif yang seharusnya dilakukan sebagai bentuk manajemen bencana. Ia memberi contoh langkah yang diterapkan negara fanatik bola, Inggris. Ia menekankan contingency plan atau rencana cadangan efektif sebagaimana yang dilakukan negara-negara guna meredam hal serupa.
“Kita tahu di Inggris risiko terjadi kerusuhan itu besar sekali. Namun, yang kita lupa dalam kapasitas itu adalah contingency plan. Inggris sudah menerapkan contingency plan, misalnya meminggirkan penonton terlebih dulu, mengatur mobilitasnya, atau yang lain. Jadi, ketika hal tersebut kejadian, tidak lebih dari 10 menit, penonton akan bisa keluar,” ungkap Haksa.
Tak hanya itu, Haksa juga menekankan pentingnya melihat kapasitas dalam hal ini adalah kapasitas stadion. Menyesuaikan kapasitas dengan jumlah penonton tentu saja penting untuk menghindari hal-hal tidak diinginkan. “Salah satu yang luput dari Indonesia adalah kapasitas. Kita harus akui masih lemah di situ. Padahal kapasitas ini sebagai denominator. Kalau kapasitas besar, maka potensi kerusuhan yang merenggut nyawa banyak orang ini akan semakin kecil,” katanya.
Sebagai pungkasan, Haksa menyesalkan langkah panitia pelaksana maupun pemerintah yang enggan memperhatikan faktor-faktor risiko yang mungkin terjadi terutama di laga besar. Menurutnya, alih-alih menurunkan pihak keamanan dengan jumlah yang besar, seharusnya kapasitas dan rencana-rencana darurat lebih dapat diutamakan.
Penulis: Yulia Rohmawati
Editor: Khefti Al Mawalia