Universitas Airlangga Official Website

Parasit Acanthocephalan pada Ular Kobra Jawa

Ular Kobra Jawa (sumber:kompas)

Meningkatnya prevalensi ular kobra Jawa (Naja sputatrix) ditangkap dari alam liar dan sering dilakukan dan dikonsumsi di Indonesia, untuk itulah penulis menyoroti keprihatinan kritis mengenai hal ini yang mempunyai potensi infeksi parasit pada spesies reptil. Ular kobra Jawa umumnya dikenal karena penyebarannya yang luas dan ditemukan di Pulau Jawa, Indonesia, dari bagian barat hingga timur wilayah yang merupakan habitat aslinya. Prevalensi geografis ular-ular ini menekankan pentingnya mengkaji potensi ancaman parasit yang mungkin mereka miliki. Ular yang ditangkap di alam liar, terutama yang ditujukan untuk konsumsi manusia, menghadapi sebuah peningkatan risiko infestasi parasit, termasuk disebabkan oleh acanthocephalans. Acanthocephalans, disebut sebagai cacing berkepala berduri, dapat dikenali dari ciri khas yang ada di barisan kait belalai. Fitur-fitur ini sangat penting untuk identifikasi genus atau spesies dalam klasifikasi ilmiah.

Seiring dengan tingginya permintaan ular kobra Jawa di masyarakat setempat, khususnya di Pulau Jawa, Indonesia, yang berguna untuk menilai sejauh mana infeksi acanthocephalan dalam hal ini spesies ular tertentu menjadi penting. Ular yang ditangkap di alam liar, terpapar pada ekologi yang beragam kondisi dan mengalami tekanan penangkapan dan transportasi, rentan terhadap peningkatan infeksi parasit dan menyebabkan banyak patologi pada ular. Di beragam spesies, siklus hidup acanthocephalans secara rumit melibatkan invertebrata dan inang vertebrata. Reptil dan amfibi berfungsi sebagai inang paratenik untuk acanthocephalan spesies tertentu, berpotensi tertular infeksi melalui konsumsi beragam mangsa air, terutama ikan. Host definitif untuk acanthocephalans meliputi beragam spektrum burung predator dan mamalia.

Meskipun demikian, khususnya yang termasuk dalam genera tersebut Centrorhynchus dan Sphaerechinorhynchus menggarisbawahi kemampuan mereka untuk menginduksi kondisi patologis pada ular. Larva dari Centorhynchus spp. menunjukkan migrasi ekstraintestinal, mengakibatkan infeksi ular kobra India (Naja naja). Apalagi Centorhynchus sindhensis secara khusus menargetkan ular keelback harimau (Rhabdophis tigrinus) di Korea, menunjukkan preferensi yang jelas untuk dinding usus ular ini selama masa larva tahap. Selain itu, sudah berkembang sepenuhnya keadaan larva cystacanth menempati ular pohon berwarna hijau (Dendrelaphis punctulata) di Australia. Adanya cystacanth acanthocephalan dalam beragam ini spesies ular menyoroti penyebaran parasit ini sebagai potensial ancaman.

Namun, meskipun dampaknya jelas bagi keduanya ular dan kesehatan masyarakat, terdapat kekurangan yang mencolok studi komprehensif mengatasi prevalensi dan ciri-ciri morfologi acanthocephalans di ular kobra Jawa yang dikonsumsi di Indonesia. Penyelidikan ilmiah ini berupaya menjembatani kesenjangan ini dengan menyelidiki secara sistematis prevalensi infeksi acanthocephalan pada tangkapan liar. Khususnya ular kobra Jawa (Naja sputatrix) yang dimaksudkan untuk dikonsumsi. Lebih dari sekadar kuantifikasi prevalensi, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki seluk-beluknya aspek morfologi parasit, mencari nuansa pemahaman tentang fitur struktural mereka. Selain itu, penelitian mengeksplorasi potensi kecenderungan spesifik inang, menjelaskan kekhususan acanthocephalan infeksi pada ular kobra Jawa.

Pendekatan komprehensif sangat penting untuk membangun potret rinci ekologi parasit di sekitarnya ular. Pentingnya penyelidikan semacam ini semakin luas melampaui bidang herpetologi, mencakup lebih luas pertimbangan kesehatan masyarakat. Memahami dinamika infeksi acanthocephalan pada ular kobra Jawa berkontribusi terhadap kesejahteraan ular yang dikonsumsi dan mempunyai implikasi terhadap kesehatan masyarakat. Studi ini memberikan landasan untuk pengambilan keputusan di bidang satwa liar bahwa manajemen dan kebijakan kesehatan masyarakat dengan menjelaskan seluk-beluk interaksi parasit di dalamnya termasuk dalam konteks ekologis. Oleh karena itu, penyelidikan ilmiah ini sangatlah penting kontribusi terhadap upaya berkelanjutan untuk memahami dan mengurangi dampak infeksi parasit terhadap konservasi satwa liar.

Ular umumnya terserang infeksi acanthocephalan dikenal sebagai acanthocephaliasis, menunjukkan segudang gejala klinis tanda-tanda dan perubahan patologis terkait erat dengan

adanya parasit acanthocephalan. Spektrum klinis ini menggarisbawahi indikator-indikator penting, termasuk penurunan yang nyata nafsu makan, penurunan signifikan dalam tingkat aktivitas secara keseluruhan, manifestasi dehidrasi, dan yang mencolok perkembangan nodul subkutan. Selain itu, manifestasi patologisnya meliputi enteritis ditandai dengan infiltrasi sel inflamasi dan usus perdarahan, berkontribusi terhadap kondisi kompleks yang diamati pada ular. Kaskade patologis berkembang sebagai acanthocephalan infestasi berlanjut, menghancurkan vili usus sepenuhnya. Proses destruktif ini berpuncak pada transformasi jaringan di sekitarnya menjadi berserat dan homogen, jelas menandakan kerusakan organ pada ular. Akibatnya, ini menjadi parasit ular menghadapi tantangan nutrisi yang besar, memicu serangkaian dampak buruk pada kesehatan secara keseluruhan.

Menyadari pentingnya kebutuhan untuk memahami patogenisitas spesies ular tertentu yang terkena dampak infeksi acanthocephalan, ditambah dengan peran penting menyediakan data komprehensif tentang keanekaragaman cacing parasit yang melekat pada ular yang ditangkap di alam liar. Wawasan seperti ini sangat penting membangun metodologi pencegahan dan terapi yang kuat untuk mengurangi dampak infeksi acanthocephalan populasi ular. Pendekatan multifaset ini tidak hanya berkontribusi pada pemahaman kita tentang dinamika yang rumit infeksi parasit tetapi juga meletakkan dasar untuk mengembangkan strategi yang ditargetkan untuk menjaga kesehatan dan keseimbangan ekologi populasi ular yang beragam ekosistem.

Penelitian ini merupakan penelitian komprehensif, menawarkan gambaran morfologi dan morfometri yang berhubungan dengan infeksi acanthocephalan di N. sputatrix dalam konteks geografis Indonesia. Angka prevalensi yang terlihat sebesar 47,05% berfungsi sebagai representasi numerik dan beresonansi dengan kebutuhan mendesak untuk inisiatif penelitian lebih lanjut. Urgensi yang mendasari seruan ini ditonjolkan, sehingga memerlukan eksplorasi yang lebih mendalam untuk memastikan secara tepat kejadian dan seluk-beluk spesies cacing parasit dalam populasi ular yang diteliti. Keharusan untuk studi masa depan diartikulasikan dengan perspektif yang lebih luas, melampaui batas-batas fokus penelitian saat ini pada N. sputatrix. Penelitian ini dengan menyoroti kejadian yang jarang terjadi ular yang ditangkap di alam liar sebagai inangnya, menekankan kelangkaan data eksklusif tentang faktor risiko parasit. Melalui pendekatan ini ingin memastikan pendekatan yang lebih mendalam pemahaman tentang dinamika parasit dalam populasi ular di Indonesia, berkontribusi besar terhadap bidang parasitologi dan ekologi satwa liar yang lebih luas.

Penulis korespondensi: Prof. Dr. Mustofa Helmi Effendi, drh., DTAPH.

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

Edila R, Effendi MH, Suwanti LT, Kwon H-K, Yudhana A, Wardhana AH, Alhada A. 2024. A comprehensive study on the occurrence rate and morphology characteristics of the acanthocephalan parasite in Javan spitting cobra (Naja sputatrix) in Sidoarjo, Indonesia. Biodiversitas 25: 516-521. 

DOI: 10.13057/biodiv/d250210