UNAIR NEWS – Dugaan kepemilikan harta bernilai fantastis oleh eks pegawai Ditjen Pajak Republik Indonesia, Rafael Alun, hingga kini masih menjadi sorotan publik. Publik menganggap bahwa jumlah kekayaan Rafael sangatlah tidak wajar bagi seorang ASN (Aparatur Sipil Negara) Eselon III sepertinya.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (UNAIR), Drs Gitadi Tegas Supramudyo MSi angkat bicara. Ia menilai, kasus pejabat negara dengan harta kekayaan tak wajar ibarat fenomena gunung es. Artinya, kepemilikan harta dengan nilai tak wajar di kalangan pejabat negara merupakan hal yang umum di Indonesia. Hanya saja, mereka yang terlibat mampu menutupinya dengan melakukan berbagai rekayasa.
“Kalau kita lihat kasus ini, fakta yang muncul adalah bahwa aset-asetnya itu tidak atas namanya sendiri, tetapi atas nama orang lain atau keluarganya. Artinya, ini merupakan satu bentuk penyembunyian aset dengan rekayasa LHKPN,” ujarnya.
Sebabkan Public Distrust
Gitadi melanjutkan, mencuatnya kasus Rafael juga berimbas pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah khususnya kementerian keuangan dan jajarannya. Sehingga, hal tersebut juga dinilai akan memengaruhi pendapatan pajak negara.
“Logikanya, ketika public distrust meningkat kemudian terjadi penurunan keikhlasan dan kemauan untuk membayar pajak, tentu saja akan berpengaruh,” kata Gitadi.
Secara teori, tambahnya, pengaruh public distrust terhadap pendapatan pajak negara tidak akan terjadi secara berkepanjangan. Kendati demikian, Gitadi mengingatkan pemerintah untuk melakukan upaya-upaya maksimal guna memperbaiki tingkat kepercayaan publik terhadap instansinya.
“Jajaran pemerintah juga harus melakukan upaya-upaya maksimal untuk menambal dampak negatif terhadap masalah di institusi tersebut. itu bisa menjadi berkepanjangan jika tidak ada upaya konkret dari negara,” tegasnya.
Momentum Tepat Untuk Lakukan Reformasi
Lebih lanjut, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UNAIR itu mengatakan bahwa munculnya kasus Rafael merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi dan redesain kebijakan, khususnya terkait LHKPN.
“Sudah seharusnya LHKPN segera diperbaiki sehingga tidak ada lagi kasus penggunaan nama orang lain atau penyamaran aset. Dalam hal ini, para stakeholders harus juga bersinergi, misalnya saja dengan kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maupun kejaksaan untuk menelusuri aset dan kekayaan terduga,” terangnya.
Selain itu, momentum ini juga sangat tepat untuk melakukan memeratakan keadilan bagi profesi lain sesuai dengan kontribusinya. Perlu diketahui bahwa setiap instansi memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing. Namun demikian, masih terjadi ketimpangan khususnya dalam hal anggaran dan tunjangan yang diterima.
“Jadi, menurut saya ini momentum penting untuk melakukan redesain dan reformasi, termasuk memeratakan keadilan bagi profesi lain yang juga memiliki kontribusi masing-masing, terutama di bidang pendidikan yang paling kentara kesenjangannya,” ujarnya.
Pada akhir, Gitadi mewanti-wanti agar kasus ini terhindar dari adanya politisasi, mengingat pemilu 2024 akan segera bergulir. Pasalnya, kasus-kasus semacam ini rentan disusupi oleh kepentingan politik tertentu.
“Supaya tidak terkesan ada politisasi, khususnya menjelang Pemilu 2024, maka berbagai data dan bukti dari kasus ini harus diperkuat oleh sumber yang dipercaya, sehingga tidak dijadikan sebagai amunisi untuk kepentingan politik kelompok tertentu untuk menyerang pemerintah,” tukasnya. (*)
Penulis: Yulia Rohmawati
Editor: Binti Q. Masruroh