Universitas Airlangga Official Website

Pelajaran dari Qatar: Sayangilah Ibumu

Hati saya tersentuh ketika membaca kiriman sahabat saya seorang eksekutif muda di Jakarta di WA grup tentang narasi yang diucapkan seorang komentator bola dari Jerman yang berbicara tentang adegan dimana para pemain sepakbola Maroko memeluk dan mencium orang tua mereka dan mereka juga berdoa (sujud syukur) setiap pertandingan selesai. Sang komentator itu mengatakan:

“We no longer see the intimate family bonds in our western societies. The concept of family is fading, and we can only see the players kissing their models and girlfriends while their parents are left in nursing homes.

The moral support of the family played a big role in Morocco’s wins, while we came to support homosexuality and place our hands on our mouths.

We taught them (means Moroccans) how to play football, so they excelled and exceeded us, and we should learn ethics and family values from them, hoping one day we see our players kissing the foreheads of their mothers and fathers too.”

Terjemahan dari ucapan komentator Jerman itu: “Kita tidak lagi melihat ikatan keluarga yang intim dalam masyarakat barat kita. Konsep keluarga memudar, dan kita hanya bisa melihat para pemain mencium model dan pacar mereka sementara orang tua mereka ditinggalkan di panti jompo.

Dukungan moral keluarga memainkan peran besar dalam kemenangan Maroko, sementara kami datang untuk mendukung homoseksualitas dan meletakkan tangan kami di mulut kami.

Kami mengajari mereka (maksudnya orang Maroko) cara bermain sepak bola, jadi mereka unggul dan melebihi kami, dan kami harus belajar etika dan nilai-nilai keluarga dari mereka, berharap suatu hari kami melihat pemain kami mencium dahi ibu dan ayah mereka juga.”

Saya sudah menulis dua artikel tentang kepatuhan pemain sepakbola Maroko terhadap para ibu mereka yang dimuat di dua media blog. Namun membaca ungkapan komentator bola dari Jerman itu saya tertarik untuk mengupasnya lagi, mengingat hal ini sangat berhubungan dengan budaya dan tradisi di Indonesia.

Para pemain sepakbola Maroko itu tentu sangat memahami ajaran luhur dari agama yang mereka anut yaitu Islam dimana banyak perintah untuk menyayangi orang tua yang tersurat dalal Al-Qur’an maunpun Hadis Nabi Muhammad. Mereka sangat menghayati Hadis Nabi tentang seorang sahabat yang bertanya pada Nabi siapa yang layak disayangi dan diperlakukan dengan baik didunia ini, Nabi menjawab “ibumu”, sahabat itu bertanya “setelah itu siapa ya Rasulullah”, Nabi menjawab “ibumu”, sahabat itu bertanya untuk ketiga kalinya dengan pertanyaan yang sama, jawab Nabi “ibumu”, pertanyaan terakhir yang sama diajukan dan baru Nabi menjawab “ayahmu”. Ada lagi suatu riwayat yang mengkisahkan seorang pemuda yang mengatakan pada Nabi Muhammad SAW bahwa dia ingin ikut berjihad-berperang bersama Nabi, dan Nabi pun bertanya apakah dia masih punya orang tua, dijawab Ya. Maka Nabi mengatakan  “Kembalilah kamu kepada kedua orang tuamu.Layanilah mereka sebaik-baiknya, pada mereka sajalah kamu berjihad!!”

Di negara kita Indonesia yang mayoritas beragama Islam dan masyarakatnya memiliki budaya yang luhur – kecintaan kepada orang tua itu merupakan sebuah kewajiban. Apapun suku dan agamanya yang dianut pada umumnya masyrakatnya menjaga adab atau sopan santun terhadap orang tua. Sampai-sampai kita menyaksikan jutaan orang bersedia mudik menjelang lebaran dengan segala cara antara lain misalnya naik sepeda motor dengan istri dan anaknya dari Jakarta ke kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur hanya agar mereka bertemu ibu dan bapaknya untuk mencium tangan dan memeluknya. Saya pun sebagai seorang dosen selalu menasihati para mahasiswa agar sebelum maju ujian misalkan skripsi, disertasi – pamit kepada kedua orang tua terutama Ibu mereka dan mencium tangannya. Karena doa merekalah mahasiswa itu menang dalam ujian, seperti yang dialami pemain sepakbola Maroko – kemenangan mereka dalam laga sepakbola Piala Dunia 2022 di Qatar ini tidak hanya karena kepintaran mereka bermain sepakbola, namun juga berkat kasih sayang mereka terhadap ibu-ibu yang melahirkan mereka dan yang selalu berdoa di setiap sholat malam untuk kebahagiaan mereka.

Saya akhirnya memahami kegundahan hati seorang komentator sepabola dari Jerman itu akan kekosongan jiwa masyarakat barat dalam hubungannya dengan orang tua. Makna Moto Universitas Airlangga “Excellence With Morality” itu salah satunya adalah menyayangi orang tua.