Universitas Airlangga Official Website

Pemutaran Film ICAS 13, Beri Pandangan Baru tentang Ritual Ngaben Massal

Para Peserta Memasuki Ruangan Pemutaran Film “The Missing Ox/Lembu yang Hilang” (Foto: Tim Museum Etnografi)

UNAIR NEWS – The International Conference of Asian Scholars Ke-13 menyajikan banyak acara menarik, salah satunya pemutaran film “The Missing Ox: Collaborative Practices in Studying and Documenting Deathscapes in Contemporary Indonesia” di Museum Etnografi dan Pusat Kajian Kematian, Kampus B Dharmawangsa, Universitas Airlangga (UNAIR).

Pemutaran film itu terlaksana pada Rabu (31/7/2024) dan diikuti lebih dari 40 peserta. Rita Padawangi selaku produser menjelaskan bahwa film itu bercerita tentang ritual ngaben massal yang dilakukan di Banjar Taman Kaja, Ubud, Bali. Ritus yang terlaksana setiap lima tahun itu kembali dilaksanakan pada tahun 2022 saat COVID-19 mulai mereda. 

“Film ini juga merupakan projek kolaborasi, dengan waktu produksi di Juli-Agustus 2022. Bali mulai membuka kembali sektor pariwisata mereka, namun kondisi ekonomi masih belum bagus. Sehingga terdapat perubahan dalam Ngaben Masal 2022 di Banjar Taman Kaja,” jelasnya.

Rita menuturkan bahwa tujuan dibuatnya film dokumenter tersebut adalah untuk mengabadikan momen dan juga sebagai bahan ajar bagi publik. Menurutnya, banyak masyarakat yang ‘kurang gaul’ terhadap budaya Bali. Ia pun mengakui sebelum memproduksi film itu, hanya tau bahwa Ngaben itu hanya dilakukan perseorangan. Ternyata ada juga Ngaben massal.

“Malah justru hampir semua orang Bali itu ngabennya massal, kalau yang sendiri-sendiri itu yang hanya keluarga kerajaan, orang-orang kaya, dan dan juga pendeta-pendeta nggak boleh ngaben massal,” ungkapnya.

Ngaben massal di Banjar Taman Kaja terpaksa harus mengalami perubahan, yang mana seharusnya memakai ‘petulangan’ (kendaraan mayat dalam bentuk binatang, Red) berubah menjadi ‘tabla’ berupa kotak peti sederhana yang terbuat dari kayu. Keputusan itu juga harus melalui diskusi bersama dalam Banjar.

“Konsepnya itu kan sangat komunal ya, ada semangat kolektif dan satu hal yang saya pelajari dari sini juga demokrasi lokal. Karena semua keputusan harus diambil bersama, jadi ada proses voting ini kira-kira skalanya 150 keluarga. Jadi kalau mereka voting harus ada perwakilan dari setiap keluarga,” tuturnya.

Rita menegaskan bahwa tidak semua riset itu keluarannya berupa publikasi jurnal. Belum tentu publikasi jurnal itu berguna bagi masyarakat yang diteliti. Dokumenter juga bisa menjadi kenang-kenangan sekaligus pengingat bagi masyarakat bahwa mereka pernah berada di titik itu. 

“Harapan saya juga para-para peneliti ini juga bisa memikirkan kanal-kanal diseminasi riset mereka yang bisa juga bermanfaat untuk masyarakat luas bukan hanya untuk akademisi sendiri,” tegasnya. 

Penulis: Muhammad Naqsya Riwansia

Editor: Edwin Fatahuddin Ariyadi Putra