UNAIR NEWS – Jumlah kasus demam berdarah di Indonesia memang selalu tinggi. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melansir jumlah penderita DBD pada tahun 2014 mencapai 71.668 orang di 34 provinsi. Jumlah itu memang menurun jika dibandingkan pada tahun 2013 yang berada pada angka 112.511 orang di 34 provinsi.
Menurut M. Atoillah Isfandiari, dr., M.Kes, pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Indonesia sebagai negara tropis secara otomatis merupakan tempat ideal untuk perkembangbiakan vektor DBD yakni Aedes aegypti. Jika jumlah vektor virus semakin banyak, maka persebaran virus akan semakin mudah.
Faktor kedua yang mempengaruhi terjadinya kasus DBD adalah global warming (pemanasan global). Sebelum fenomena perubahan iklim terjadi, kasus DBD akan meningkat pada musim pancaroba. Pada musim pancaroba, hujan jarang terjadi namun ada genangan-genangan air yang akan dijadikan sebagai tempat perkembangbiakan vektor.
“Dengan adanya global warming atau perubahan iklim, maka kasus DBD tidak lagi memuncak pada bulan-bulan tertentu. Bisa terjadi sepanjang tahun walaupun ada variasi kasus, tapi hampir sepanjang tahun bisa terjadi kasus DBD,” tutur Atoillah.
Faktor ketiga adalah kesadaran masyarakat untuk membersihkan tempat-tempat perkembangbiakan Aedes aegypti seperti bak air. Pencegahan berkembangbiaknya nyamuk DBD, menurut Atoillah, kurang efektif apabila dengan pengasapan (fogging). Sebab, larvasida tidak bisa mati hanya dengan pengasapan.
Selain itu, Atoillah juga menyampaikan bahwa kelompok yang rentan terkena penyakit DBD juga bergeser dari anak-anak ke kelompok dewasa. Pernyataan ini disampaikan berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh tim obat anti-dengue Institute of Tropical Disease (ITD) UNAIR pada tahun 2011-2013. Pada penelitian ITD UNAIR tahun 2013, presentase penderita DBD dari kalangan dewasa sekitar 30%.
Dampak pemanasan global juga membuat daerah-daerah rawan DBD bergeser. Bila sebelumnya daerah rawan DBD adalah daerah pesisir karena suhunya yang tinggi, sekarang DBD juga bergeser ke dataran tinggi. Di Jawa Timur, juga tak ada daerah yang bebas dari DBD, termasuk daerah dataran tinggi seperti Malang.
Sekretaris Pusat Layanan Kesehatan (PLK) UNAIR itu juga menyampaikan apresiasinya kepada salah satu peserta pemilukada serentak Surabaya yang membentuk gerakan pemberantasan sarang nyamuk. Bagi Atoillah, gerakan itu cukup berkontribusi terhadap penurunan kasus DBD di Surabaya pada awal tahun 2016 ini.
“Itu seharusnya menjadi program rutin. Faktanya, pada awal tahun ini Surabaya relatif aman kasus DBD dibandingkan daerah lain,” tuturnya.
Pemberantasan vektor DBD membutuhkan peran lintas sektoral. Pemerintah, swasta, dan masyarakat perlu bersinergi untuk memberantas vektor DBD.
“Seandainya air itu bisa diperoleh dengan mudah dan jaminan terus mengalir, seperti shower di luar negeri, saya kira akan dapat membantu perilaku masyarakat terkait penyimpanan air. Kita juga tidak henti-hentinya mengedukasi masyarakat dengan program 3M. Dan yang paling penting adalah kebersihan masyarakat karena itu adalah salah satu faktor mengapa 3M tidak berjalan optimal. Selain itu, saya kira perlu adanya regulasi tentang sampah rumah tangga,” tutur Atoillah.(*)
Penulis: Defrina Sukma S.