Maksud judul tulisan saya ini bukannya saya tahu tentang seluk-beluk proses ajar mengajar, kurikulum, praktek laboratorium dsb di Fakultas Kedokteran – maklum latar belakang saya bukanlah seorang dokter, namun menurut pengetahuan saya yang terbatas hal itu tentang bagaimana para pendiri bangsa yang berlatar belakang dokter itu memilki ideologi kebangsaan yang kuat meskipun beliau-beliau itu didikan penjajah Belanda, juga tentang para pendidik di Fakultas Kedokteran yang mendidik dokter dengan budaya bangsa yang kuat.
Rasa nasionalisme dan rasa melestarikan budaya bangsa para tokoh-tokoh kedokteran itu sepertinya secara seragam menciptakan mindset anak-anak Indonesia diseluruh negeri ini kalau ditanya “besok pingin jadi apa?”, maka jawabannya “ingin jadi dokter”.
Almarhum tokoh intelektual Islam Prof. Nurcholis Madjid yang dikenal dengan panggilan Cak Nur pernah bicara didepan anak-anak muda di Surabaya (saya lupa waktu dan even-nya) mengatakan bahwa diberbagai negara para generasi muda yang bergerak untuk turun kejalan memperjuangkan keadilan rata-rata mahasiswa dari jurusan eksakta, terutama mahasiswa Kedokteran.
Coba kita lihat pendapat orang luar negeri tentang para tokoh dokter bangsa ini yang memiliki komitmen kebangsaan yang kuat. J.D Legge dalam bukunya yang berjudul “SUKARNO” (1972) yang diterbitkan Praeger Publishers, New York, Amerika Serikat menjelaskan bahwa seorang pensiunan dokter Jawa Wahidin Soediraosada memilki nasionalisme yang tinggi dengan ikut mendirikan perkumpulan Boedi Utomo. Perkumpulan ini menurut Legge “…could fairly claim to recognition as Indonesia’s first first – or quasi- nationalist – organization”. Salah satu penggagas Boedi Utomo itu juga adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo – yang dipanggil “komandan saya” oleh Sukarno; beliau adalah seorang dokter lahir pada tahun 1885. Ada juga tokoh dari dunia kedokteran lainnya yaitu Dr. Wahidin Sudirohusodo. Tentu ada juga figur Dr. Sutomo seorang dokter lulusan Sekolah Kedokteran kaum Bumputra STOVIA atau School tot Opleiding van Inlandsche Artsen“ (sekarang UI) Batavia (Jakarta) kemudian mengajar di NIAS atau Nederlandsch Indische Artsen School di Surabaya.
Saya merasa bahagia dan bangga ketika almarhum abah saya KH. Hamzah (wafat tahun 1951 an) meninggalkan sebuah buku yang lusuh tapi sangat bersejarah, yaitu buku catatan perjalanan Dr. R. Soetomo ke beberapa negara seperti Belanda, Ceylon (Sri Lanka), Turki, Mesir, Jepang, Inggris dan sebagainya pada tahun 1936.
Buku yang berjudul “POESPITA MANTJA NAGARA” yang diterbitkan Poestaka Nasional Soerabaja (ejaan lama) pada tahun 1937 dan dalam bahasa Jawa, mengisahkan perjalanan pahlawan nasional ini melihat kemajuan dan bertemu dengan tokoh-tokoh penting di negara-negara tersebut dan sudah membicarakan soal keinginan Indonesia merdeka dari kolonialis Belanda.
Kisah beliau dalam buku itu sangat mengharukan bagi saya (atau siapapun yang membacanya) karena meskipun beliau ke luar negeri, beliau selalu bangga sebagai bangsa Indonesia, selalu berpikir positif akan negerinya sendiri yang tercinta, bahkan menolak anggapan bangsa asing bahwa jelek bagi orang Indonesia makan nasi. Beliau menolak anggapan itu bahwa nasi itu lebih sehat bagi bangsa Indonesia.
Mengharukan juga karena Dr. Soetomo di Afrika Selatan dan Ceylon (Sri Lanka) bertemu dengan bangsa Indonesia yang dibuang oleh penjajah Belanda. Beliau mencatat misalnya pada tahun 1706 Soesoehoenan Mangkoerat Mas, ratu “ing tanah Djawa” (raja di Jawa) dibuang Belanda di Ceylon, tahun 1723
“Sawijineng princes panggedening kaoem pemberontak ing Betawi lan 40 wong kaoeme, dening pemerintah Walanda diboeang ing Ceylon.” (salah satu ratu tokoh kaum pemberontak di Betawi/Jakarta dan 40 orang pengikutnya dibuang pemerintah Belanda di Ceylon).
Meskipun waktu itu belum ada perkiraan kapan Indonesia merdeka dari penjajah, tapi angan-angan dan semangat bangsa Indonesia terbentuk sejak dulu untuk merdeka mandiri dan memiliki harga diri yang tinggi dari bangsa penjajah.
Misalnya kisah beliau ketika tiba di Mesir pada tanggal 16 Agustus 1936, beliau menceritakan tentang begitu bahagia dan semangatnya pada mahasiswa Indonesia yang ada di Mesir kala itu menyambut Dr. Soetomo, beliau menulis]
“Para stoedent bangsa kita dhewe, ora karoewan boengahing atine. Kebeneran banget dene ing mangsa ikoe dinna wajahe arep nandha tangani perdjandjian kamardikaane Mesir, moela aja ora eram jen kang padha mapag akoe ikoe, padha kebak semangat kamardikan, ambal-ambalan para moeda maoe padha mbengok “Hidoep Pak Tom”, “Hidoep Indonesia Merdeka”
Singkatnya, itu menceritakan para mahasiswa Indonesia di Mesir ketika menjemput Dr. Soetomo meneriakkan kata-kata “MERDEKA”. Semoga semangat para pahlawan di hari Kebangkitan Nasional ini masih menggelora di hati kita masing-masing.
Meloncat ke era tahun 1970 an ketika saya masuk SMAN 2 dan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya saya sering mendengar kisah salah satu Guru Besar Universitas Airlangga yang terkemuka yaitu Prof. Asmino. Kisah yang saya dengar itu tentang bagaimana beliau mendidik calon dokter agar appearance-nya harus sesuai dengan budaya luhur bangsa Indonesia. Beliau mengejar-ngejar para dokter muda baik di FK UNAIR maupun di RS. Dr. Sutomo Surabaya yang kedapatan berambut gondrong, mengenakan celana ketat, pakai sabuk besar untuk “diadili” ditempat dengan menasihati agar mereka berpakaian yang sesuai dengan budaya Indonesia sendiri.
Saya yang berpendidikan non-dokter berharap agar meskipun dunia sekarang sudah menuju dunia digital, artificial intelligence, dunia komersial dan transaksional – para dokter muda, dosen, Profesor dsb memahami bahwa para pendiri bangsa yang berlatar belakang dokter itu berjuang mati-matian untuk kemerdekaan bangsa ini dari penjajahan. Para pengajar dan pendidik Fakultas Kedokteran seperti Prof. Asmino (dan yang lainnya) itu memiliki kekuatan moral medidik para dokter untuk tidak terlena dengan buadaya barat. Pendidikan kedokteran mestinya memasukkan nilai-nilai perjuangan para tokoh bangs aitu.
Karena itu saya yakin sebagai bagian dari anak bangsa bahwa dunia Pendidikan Kedokteran di Indonesia itu tidaklah sejelek seperti yang diberitakan diberbagai media; karena itu – ditengah-tengah pendapat yang negatif-masih banyak para dokter, Guru Besar dan mahasiwa Fakultas Kedokteran yang memiliki rasa kebangsaan yang tinggi dan tidak mau diseret-seret untuk jatuh pada kepentingan asing yang jauh dari nilai-nilai kebangsaan Indonesia.