UNAIR NEWS – Perusahaan teknologi kualitas udara Swiss IQAir merilis data yang menunjukkan penurunan kualitas udara di Indonesia. Penurunan kualitas yang dipengaruhi krisis iklim itu menunjukan data polusi partikel 2,5 mikron atau dikenal sebagai PM 2,5 pada tahun 2022. Laporan itu menjadi yang terburuk ke-26 secara global. Laporan itu menunjukkan kualitas udara di Indonesia sedikit membaik dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi masih menjadi yang terburuk di Asia Tenggara.
Menanggapi hal tersebut, tim UNAIR NEWS mewawancarai dosen teknik lingkungan Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga (UNAIR) Dr Eko Prasetyo Kuncoro ST DEA. Eko memberikan pendapatnya terkait menurunnya kualitas udara di Indonesia.
Pengukuran Kualitas Udara
Eko menjelaskan bahwa kesehatan lingkungan di Indonesia secara fisik tercatat dalam Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang dirilis oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kualitas udara di Indonesia sendiri menggunakan baku mutu pengukuran berbeda, yaitu berdasarkan parameter SO2 dan NO2.
Parameter NO2 mewakili emisi dari kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar bensin. Sementara SO2 mewakili emisi dari industri dan kendaraan diesel yang menggunakan bahan bakar solar serta bahan bakar yang mengandung sulfur lainnya.
“Kecenderungan penurunan kualitas udara di Indonesia terlihat dalam beberapa dekade terakhir yang dibuktikan dengan data hasil pemantauan khususnya parameter partikel (PM10, PM2.5) dan oksidan/ozon (O3) yang cenderung semakin meningkat,” jelas Eko.
Pemanasan Global
Eko menyebut, pemanasan global dan penurunan kualitas udara di Indonesia erat kaitannya dengan perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global. Hal itu dapat mempengaruhi kondisi udara di suatu wilayah, termasuk di Indonesia. Tentunya, permasalahan ini akan berdampak pada masyarakat dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
“Untuk meningkatkan kualitas udara di Indonesia, diperlukan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dan upaya untuk mengurangi polusi udara dari aktivitas manusia seperti transportasi dan industri,” jelas Eko.
Transisi Energi
Eko menuturkan bahwa peralihan dari penggunaan energi non terbarukan menjadi energi terbarukan dinilai menjadi suatu langkah besar sebagai upaya peningkatan kualitas udara. Transisi energi dari fosil menuju energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, air, dan biomassa dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan polutan udara tersebut.
“Sejalan dengan transisi energi bersih yang saat ini mulai dilakukan, hal ini menjadi suatu titik untuk bisa menggunakan sumber daya alam secara maksimal namun tetap mengutamakan keberlangsungan lingkungan hidup,” pungkas Eko. (*)
Penulis : Satriyani Dewi Astuti
Editor : Binti Q Masruroh