Universitas Airlangga Official Website

Pengamat Tegaskan Politisasi Gelar HC Rusak Marwah Kampus

Ilustrasi Pemberian Gelar Doktor Honoris Causa. (Foto: Yulia Putri Hadi)
Ilustrasi Pemberian Gelar Doktor Honoris Causa. (Foto: Yulia Putri Hadi)

UNAIR NEWS – Pemberian gelar doktor Honoris Causa (HC) dari universitas kepada sejumlah politisi bukan merupakan hal yang baru. Itu bisa mengindikasikan politisasi HC. Sejumlah politisi yang mendapatkan gelar HC itu membuat masyarakat mulai mempertanyakan integritas kampus. 

Publik menilai pemberian gelar HC semata-mata hanyalah motif politik. Terutama karena sebentar lagi akan ada pemilihan umum. 

Gelar HC Tidak untuk Politisi 

Pengamat ilmu politik Universitas Airlangga (UNAIR) Irfa’i Afham, kepada UNAIR NEWS pada Jumat (17/3/2023), menyebut bahwa gelar HC seharusnya menjadi gelar yang sakral dan sesuai dengan marwah insan cendekia perguruan tinggi. Menurutnya, tarikan politik yang cukup kuat terhadap pemberian gelar HC memang tidak dapat dimungkiri. 

“Bagi beberapa pihak, pemberian gelar tersebut termasuk ke dalam pertimbangan strategis yang dapat menguntungkan kelompok dan institusi pendidikan,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR itu. 

Irfa’i mengatakan aturan pemberian gelar HC seharusnya lebih ketat, khususnya kepada politisi. Ia juga menekankan bahwa politisi berbeda dengan negarawan.  

“Negarawan merelakan kepentingannya sendiri atau kelompoknya untuk kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingan masyarakat dan negara, namun negarawan pun perlu telaah apakah ia berkontribusi besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat luas,” terang Irfa’i. 

“Saya rasa ini penting untuk menjadi refleksi bersama untuk tidak mengobral gelar HC kepada politisi atau individu tertentu,” sambungnya. 

Pengamat ilmu politik Universitas Airlangga (UNAIR) Irfa’i Afham.
Merusak Citra Pendidikan Tinggi 

Irfa’i berpendapat bahwa politisasi gelar HC tidak hanya mengerdilkan ruang akademik, tetapi juga merendahkan martabat dari institusi pendidikan. Politisasi dan pengobralan gelar HC dapat merusak spirit dari perguruan tinggi. 

“Gelar doktor dicapai seseorang melalui proses yang sangat panjang dan perlu banyak pengorbanan. Apabila politik praktis dan kepentingan pribadi masuk dalam pemberian HC, ini akan merusak mekanisme sosial dalam pembentukan intelektual di lingkungan pendidikan tinggi,” tuturnya. 

Pada akhirnya, tukas Irfa’i, hal itu berpotensi merugikan kredibilitas dan marwah institusi pendidikan tinggi yang berimplikasi pada reputasi institusi tersebut. 

“Bisa menjadi bumerang bagi institusi pendidikan itu sendiri,” ucapnya. 

Harus Ada Tolok Ukur Kontribusi Penerima Gelar HC 

Landasan yuridis pemberian gelar HC, ujar Irfa’i, diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1980. Dalam peraturan tersebut, secara umum kontribusi apa saja yang dapat menerima gelar HC. 

“Jadi, tidak mungkin semua kontribusi bisa mendapat gelar HC. Harus ada ukuran kualitatif pada ranah keilmuan, sehingga pemberian gelar HC tidak dapat diobral untuk para individu nonakademik maupun politisi,” tegasnya. 

Sebagai penutup, Irfa’i menyarankan adanya aturan turunan yang lebih terperinci tentang ukuran kontribusi penerima gelar HC. Selain penegakan hukum, lanjutnya, mekanisme ketahanan kelembagaan yang kuat juga perlu sehingga tarikan politik dan kepentingan pribadi tidak mengintervensi pemberian gelar HC. 

“Solusi untuk mengatasi politisasi gelar HC ini adalah perketat mekanisme pemberiannya, baik dari peraturan perundang-undangan di Indonesia maupun peraturan perguruan tinggi masing-masing,” pungkas Irfa’i. (*)  

Penulis : Dewi Yugi Arti 

Editor: Feri Fenoria 

Baca juga:

Pakar UNAIR: Ramadhan Jadi Momentum Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi

Ramai Obral Gelar HC, Pakar: Sah Selama Sesuai Prosedur