Ekonomi kreatif adalah salah satu sektor perekonomian yang mengutamakan kreativitas, ide, dan pengetahuan dari sumber daya manusia sebagai faktor produksi utamanya. Dalam perkembangannya, ekonomi ini telah terbukti dapat memajukan perekonomian yang salah satunya di negara kita yaitu Indonesia. Istilah ‘ekonomi kreatif’ untuk pertama kalinya dikenalkan oleh John Howkins pada tahun 2005 melalui bukunya yang berjudul “Ekonomi Kreatif: ‘Bagaimana OrangMenghasilkan Uang dari Ide”.
Di Indonesia, sektor ekonomi ini di instruksikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2009 melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif (Inpres No.6/2009 tentang Pengembangan Kreatif Ekonomi). Presiden SBY mencanangkan Program Pengembangan Industri Nasional dan Daerah yang dimaksudkan untuk membawa kemajuan di bidang kreatif yang mampu mendukung pembangunan ekonomi nasional, mengingat Indonesia memiliki potensi yang besar karena memiliki sumber daya manusia, sumber daya alam, dan keragaman budaya yang sangat kaya.
Indonesia memiliki banyak pakar ekonomi kreatif yang terkenal secara global dan memiliki reputasi kelas dunia di bidang animasi/film, seperti Andre Surya, Michael Reynold Tagore Rini Triyani Sugianto, Griselda Sastrawinata, dan Ronny Gani Teja. Mereka pernah terlibat dalam produksi judul-judul besar seperti Spiderman atau The Avenger. Sayangnya, masih banyak animator yang belum mengetahui perlindungan hak cipta atas animasi sebagai ciptaan intelektual mereka. Animasi memiliki potensi yang besar dalam subsektor ekonomi kreatif, namun dengan rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat (bahkan pihak berwenang) tentang perlindungan hak cipta atas animasi, ekonomi kreatif Indonesia tidak akan dapat berkembang sebaik mungkin. Jika kesadaran publik dan otoritas tidak ditingkatkan dan industri kreatif tidak didukung dengan lebih baik, itu akan menjadi peluang yang sangat sia-sia bagi Indonesia.
Prof. Dr. Rahmi Jened, SH., MH., Dr. Henry Sulistyo Budi, SH., LL.M., dan Nadya Prita Gemala, SH., MH. telah melakukan penelitian tentang perlindungan Hak Cipta Indonesia untuk animasi dan peranannyadalam mendukung ekonomi kreatif pada tahun 2017 hingga tahun 2020. Hasil penelitian menunjukkan, pertama, landasan filosofis Hak Kekayaan Intelektual diturunkan oleh John Locke dengan teori Fruit of Labor dan GWF Hegel dengan teori personality. Filosofi John Locke berlaku di negara-negara yang menganut tradisi Common Law. Filosofi GWF berlaku di negara-negara yang menganut tradisi Civil Law. Sedangkan Indonesia mewarisi tradisi Civil Law dari Belanda dan memiliki ideologi Pancasila. Menurut Pasal 28 UUD 1945 hak cipta merupakan hak dasar dan diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Undang-undang hak cipta mengatur antara lain: standar hak cipta, perlindungan otomatis, jangka waktu perlindungan: hidup +70 tahun setelah kematian pencipta, hak eksklusif substantif yang mencakup dimensi ekonomi dan moral, dan pembatasan hak cipta.
Kedua, kendala doktrinal, kendala normatif dan kendala praktis perlindungan hak cipta animasi dalam bingkai ekonomi kreatif. Kendala doktrinal adalah doktrin perlindungan otomatis, doktrin dikotomi ide dan ekspresi. Kendala normatif meliputi: penghapusan ketentuan orisinalitas norma dari undang-undang Hak Cipta, penekanan persyaratan fiksasi hanya untuk rekaman suara dan tidak mencakup karya lain, mengatur hak substantif secara tegas dan tidak terpisah secara umum, sedangkan dalam banyak kasus pelanggaran dapat mencakup beberapa hak substantif sekaligus. Tidak mengatur hak royalti penjualan kembali meskipun Indonesia kaya akan seniman-seniman yang baik. Kendala praktis antara lain kurangnya pemahaman yang komprehensif tentang perlindungan hak cipta dari aparat penegak hukum.
Dalam hal perlindungan hak cipta animasi, solusi terbaik yang bisa dicontoh adalah contoh dari Amerika dan Jepang. Amerika melindungi karya animasi yang mencakup berbagai tindakan, melindungi program komputer seperti tes beta, izin hak cipta komputer, pengujian menggunakan standar Sufficient Delineation dan Story Being Told, dll. Sedangkan contoh berbasis triple helix terbaik dilakukan oleh Jepang dengan keberhasilannya dalam mengumpulkan kolaborasi, sinergi dan integritas antara pemerintah, industri, dan perguruan tinggi dalam pengembangan ekonomi kreatif.
Penulis: Prof. Dr. Rahmi Jened, SH., MH.
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: https://iip.ntut.edu.tw/p/412-1092-12387.php?Lang=en
Dr. Nadya Prita Gemala, SH., MH., Prof. Dr. Rahmi Jened, SH., MH., Dr. Henry Sulistyo Budi, SH., LL.M, “Indonesian Copyright Protection for Animation and Its Role in Supporting Creative Economy: Doctrinal, Normative, Practical Consstrain and Its Solution”
NTUT Journal of Intellectual Property Law and Management, 2021, 10(1), pp. 80–102