Asian Development Bank (ADB) dalam laporannya tentang perekonomian Indonesia tahun 2025 memprediksi bahwa Produk Domestik Bruto Indonesia tahun 2024 sekitar 5 persen dan tahun 2025 angka itu tidak bergerak dan nampaknya tetap bertengger di angka 5 persen. ADB membandingkan dengan beberapa negara ASEAN seperti Filipina dan Kamboja di mana PDB mencapai tingkat lebih tinggi dari Indonesia yaitu masing-masing 6 persen dan 5,8 persen. Sementara itu Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan perekonomian Indonesia hanya akan mencapai 5,1 persen pada tahun 2025. Proyeksi ini sedikit lebih rendah daripada target pemerintah yakni 5,2 persen.
Selain itu, perekonomian Indonesia tahun 2025 juga terpengaruh dengan kondisi dan situasi global yang masih “unpredictable” atau tidak dapat diduga dan “uncertain” atau tidak pasti. Kondisi itu antara lain konflik geopolitik – perang antara Ukraina dan Rusia yang masih berlangsung, konflik Israel dan Palestina di Gaza dan di Lebanon, situasi Suriah yang kacau. Konflik geopolitik akan menjadi ancaman signifikan terhadap perdagangan dan pasar energi, yang dapat memicu lonjakan harga energi dan inflasi. Lonjakan harga ini berpotensi menimbulkan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok dan kebutuhan sehari-hari sehingga dapat mengurangi daya beli rumah tangga. Terutama pada kelompok berpenghasilan rendah.
LPEM FEB UI menganalisis pengaruh ketidakpastian global terhadap perekonomian Indonesia. Disebutkan “Pada Oktober 2024, menyusul meningkatnya ketidakpastian global akibat meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah, modal telah mengalir keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Akibatnya, Rupiah terdepresiasi sebesar 2,91 persen antara 30 September dan 15 Oktober 2024, mencapai Rp15.575 per dolar AS. Depresiasi ini menyoroti sensitivitas Rupiah terhadap dinamika pasar global dan sentimen investor. Dalam kondisi yang penuh tantangan ini, dolar AS menguat terhadap berbagai mata uang, yang selanjutnya berdampak pada Rupiah. Ekspektasi pasar terhadap kebijakan moneter Federal Reserve akan terus memainkan peran penting dalam membentuk arah mata uang Rupiah.
Tambahan pula Donald Trump yang akan dilantik secara resmi sebagai Presiden Amerika Serikat tanggal 20 Januari 2025 sudah memberikan ancaman akan menaikkan tarif atas produk-produk Cina yang akan memunculkan perang dagang antara AS dan Cina. Trump juga mengancam negara-negara anggota BRICS (Brazil Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan) yang tidak menggunakan mata uang dolar AS akan mendapatkan sanksi kenaikan tarif 100 persen atas produk-produk mereka yang diekspor ke pasar AS.
Berdasarkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), risiko ini berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dengan laju pertumbuhan global yang diproyeksikan sebesar 3,3 persen per tahun selama dua tahun ke depan. Laporan OECD menyebutkan, meningkatnya ketegangan perdagangan dan langkah proteksionisme dapat mengganggu rantai pasokan, memicu kenaikan harga energi, dan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.
Di dalam negeri Indonesia tahun 2025 nanti masih menghadapi berbagai tantangan antara lain daya beli masyarakat yang turun, ketimpangan ekonomi, tingkat pengangguran, dan ketergantungan terhadap impor pangan. Daya beli masyarakat, terutama pada kelompok calon kelas menengah dan kelas menengah, mengalami tekanan. Berdasarkan data Permata Institute for Economic Research (PIER), penurunan indeks pembelian barang tahan lama (durable goods) pada kelompok pendapatan Rp2,1 juta – Rp3 juta, Rp3,1 juta – Rp4 juta, dan di atas Rp5 juta mengalami peningkatan.
Masalah lain yang dihadapi menjadi tantangan bagi Indonesia yaitu masalah ketenagakerjaan. Data International Monetary Fund (IMF) menunjukkan, level pengangguran di tanah air menduduki posisi tertinggi di antara enam negara lain di Asia Tenggara dengan tingkat pengangguran mencapai 5,2 persen per April 2024. Selain itu, PHK juga masih mengancam berbagai industri. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, terdapat 46.240 orang tenaga kerja terkena PHK pada periode Januari hingga Agustus 2024.
Selain faktor-faktor ekonomi, perubahan iklim dan ketergantungan terhadap impor pangan juga turut menambah ancaman. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Sulawesi Selatan memprediksi indeks La Nina terjadi hingga 2025 mendatang berpotensi menyebabkan banjir yang dapat merusak lahan pertanian dan mengancam produksi pangan nasional, khususnya padi. Produksi padi yang berkontribusi 30 persen terhadap kebutuhan pangan domestik, berpotensi menurun signifikan jika dampak perubahan iklim ini tidak segera diantisipasi (Sofia, 2024). Ketergantungan terhadap impor pangan juga berpotensi memperburuk situasi.
Menurut data BPS, Indonesia telah mengimpor sebanyak 3,48 juta ton beras dari Thailand, Vietnam, Myanmar, Pakistan, dan Kamboja hingga Oktober 2024. Proyeksi menunjukkan, impor beras pada tahun 2024 dapat mencapai 5,17 juta ton yang berpotensi menjadi rekor tertinggi, padahal angka tersebut belum termasuk berbagai komoditas pangan impor lainnya seperti gandum, jagung, dan gula.
Jadi, tahun 2025 nanti negeri kita ini masih menghadapi berbagai tantangan. Namun hal itu bisa terkendali sepanjang Indonesia melakukan pengelolaan anggaran yang prudent – penuh kehati-hatian, terus melakukan efisiensi di berbagai bidang, meningkatkan upaya penegakan hukum terutama memberantas korupsi dan menjaga stabilitas politik dalam negeri.