Universitas Airlangga Official Website

Perlunya Koordinasi Pangan

Ilustrasi pangan dan lingkungan
Ilustrasi pangan dan lingkungan

Ketika saya melihat berita TV tentang kenaikan harga beras di beberapa daerah saya ingat tulisan sahabat saya Cak M. Chairul Arifin, alumni FKH UNAIR dan Pramubhakti Kementan berjudul Swasembada Beras Riwayatmu Kini di Inipasti.com tanggal 3o Januari 2023.

Pangan merupakan kebutuhan strategis di banyak negara di dunia. Krisis pangan bisa menjatuhkan pemerintahan suatu negara. Maklum, pangan merupakan kebutuhan dasar rakyat. Di Indonesia, salah satu bentuk pangan itu adalah beras yang banyak dikonsumsi masyarakat luas.

Kebutuhan pangan terus meningkat, terutama pada bulan-bulan tertentu seperti bulan Ramadan menjelang Idulfitri, perayaan Natal, tahun baru, dan perayaan lainnya. Beras komoditi yang penting karena termasuk salah satu faktor atau indikator perhitungan tingkat inflasi. Karena itu, dalam rapat kabinet presiden selalu menanyakan kondisi harga beras dan kecukupannya di masyarakat.

Seringkali negeri kita mengalami kelangkaan beras karena stok atau persediaan, baik di tingkat masyarakat maupun Badan Urusan Logistik (Bulog). Perlu diketahui bahwa daerah utama produssen beras berada di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, dan Sulawesi Selatan. Sementara konsumsinya berada hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini merupakan salah satu faktor munculnya ketimpangan kecukupan beras.

Beras memiliki karakteristik yang khas, terpengaruh cuaca, tanaman musiman, usaha tani yang kecil dan banyak jumlahnya, dan elastisitas permintaan yang tinggi. Apabila terjadi disrupsi di karakteristik tersebut, misalnya banjir atau gagal panen, maka bisa dilihat Indonesia akan mengalami defisit pangan. Satu-satunya upaya untuk menutupi defisit tersebut adalah impor.

Dulu, Indonesia seperti yang ditulis mas Chairul Arifin di atas – pernah berhasil swasembada beras sampai mendapat penghargaan dari lembaga PBB FAO pada tahun 1984. Lalu kemudian tidak lagi swasembada dan terpaksa impor. Kita pernah impor 1,5 juta ton dari Thailand dan Vietnam (1,5 juta ton itu sama dengan 1 milyar 500 juta kg).

Namun, defisit beras itu juga bisa terjadi karena kurangnya koordinasi di lembaga-lembaga terkait. Misalnya ada ketidaksesuaian data stok beras milik Kementrian Pertanian dan data milik Bulog. Secara umum, Bulog hanya membeli 5-10 persen dari produksi beras dari para petani.

Ekonom terkemuka dari Amerika Serikat Leon A. Mears pernah menuliskan ekuasi kebutuhan Bulog dengan rumus Qbd = Da+Dga+Dmo+B+Ld. Dimana :

  1. Qbd = kebutuhan persedian tahunan Bulog
  2. Da    = Jumlah beras yang disalurkan ke TNI dan Polri
  3. Dga  = Jumlah beras yang disalurkan ke pegawai negeri
  4. Dmo= Jumlah beras untuk kegiatan Operasi Pasar
  5. B      = Kebutuhan Buffer Stock
  6. Ld    = Kehilangan di distribusi, pergudangan, dan transportasi di Bulog

Pihak Bulog itu melakukan pembelian gabah dan beras dari produksi petani berdasarkan data Marketable Surplus yang ada di masyarakat. Seingat saya, Marketable Surplus ini adalah persediaan beras yang ada di masyarakat atau petani setelah dikurangi konsumsi.

Pada jaman Orde Baru, persoalan beras ini mendapatkan perhatian serius sehingga secara rutin ada pertemuan-pertemuan di daerah penghasil beras yang dihadiri pihak Kementan, Gubernur/PemprovBupati/Pemkab, Puskud, dan KUD. Pertemuan itu untuk melakukan identifikasi persoalan beras dari soal kesiapan musim tanam, kecukupan pupuk, persoalan irigasi, panen dan pasca panen, pergudangan, transportasi, dan sebagainya. Dari pertemuan itu didapatkan harmonisasi data di setiap lembaga pemerintahan tentang jumlah produksi, stok yang ada dimasyarakat, stok yang ada digudang Bulog, dan sebagainya.

Nampaknya sistim koordinasi seperti itu perlu dihidupkan lagi agar kita dapat mengurangi ketergantungan pangan dari impor. (*)