UNAIR NEWS – Suku Badui merupakan sekelompok masyarakat adat Sunda yang mendiami wilayah pedalaman Lebak, Provinsi Banten. Kelompok masyarakat ini terkenal sebagai kelompok yang cukup menutup diri dari dunia luar.
Akan tetapi, kemajuan teknologi yang sangat massal tidak menutup kemungkinan membuat masyarakat menggunakan teknologi untuk membantu aktivitasnya sehari-hari. Kemajuan ini juga masyarakat Suku Badui rasakan. Kemajuan teknologi ini seperti adanya pemasangan akses internet berupa Wi-Fi yang masyarakat dapatkan. Namun, pemasangan Wi-Fi menimbulkan berbagai pandangan sehingga menimbulkan isu pencabutan akses internet tersebut.
Dosen Antropologi FISIP UNAIR Djoko Adi Prasetyo Drs MSi turut menanggapi isu pencabutan Wi-Fi tersebut. Ia menjelaskan bahwa khusus untuk Badui Tangtu (Dalam), lebih baik tanpa Wi-Fi. Sebab, Suku Badui Dalam sudah menemukan jatidiri mereka sesuai dengan adat dan budaya dari leluhurnya. Masyarakat memiliki teknologinya sendiri. Seperti adanya sistem barter yang secara kultural turun temurun masyarakat setempat lakukan.
“Khusus untuk Badui Tangtu (Dalam), lebih baik tanpa Wi-Fi karena memang sudah menemukan jatidiri sesuai dengan leluhurnya (karuhun). Selain itu, meskipun tanpa Wi-Fi Suku Badui Dalam masih tetap eksis karena masyarakat setempat bisa menikmati kemajuan teknologi massa di luar wilayah. Justru dengan pencabutan Wi-Fi, membuat mereka fokus dalam mepertahankan kulturalnya di tengah era globalisasi,” ujarnya.
Tidak Memberikan Dampak Buruk
Lebih lanjut, ia menegaskan dengan adanya pencabutan Wi-Fi ini, tidak memberikan dampak yang buruk bagi masyarakat Suku Badui Dalam. Sebab, masyarakat masih memegang aturan adat secara turun temurun.

“Saya mengira tidak ada dampak bagi Suku Badui Dalam dengan pencabutan Wi-Fi. Karena memang aturan adat yang keukeuh di Badui Dalam tidak benar bahkan larangan untuk menggunakan alat komunikasi massa (modern) apapun, seperti televisi, radio, HP, kamera, drone atau bentuk yang lain,” tuturnya. “Justru alat komunikasi tradisional seperti kentongan yang masih dipelihara dan berfungsi dengan baik,” imbuhnya.
Masyarakat Suku Badui Dalam berusaha mempertahankan ajaran warisan leluhurnya dengan konsisten sejalan dengan semboyan yang mereka pegang teguh yaitu “kalau panjang jangan dipendekan, kalau pendek jangan dipanjangkan, kalau lurus jangan dibengkokan dan kalau bengkok jangan diluruskan.”
Djoko Adi menjelaskan arti dari semboyan tersebut yaitu, “adanya seperti yang diberikan oleh alam semesta, terlihat juga dalam menjaga kesehatan, mereka memanfaatkan secara optimal berbagai ramuan yang ada di hutan sekelilingnya, termasuk makanan sehari-hari.” (*)