UNAIR NEWS – Research Center on Global Emerging and Re-Emerging Infectious Diseases (RC GERID) Universitas Airlangga (UNAIR) mengadakan 2nd International Conference on Infectious and Tropical Disease (ICITD) In Conjunction With Clinical Microbiology Continuing Medical Education (CM-CME). Gelaran kali ini mengusung tajuk “Global Threats and Responses to Emerging and Re-Emerging Infectious Disease.” Acara ini berlangsung di Hall Majapahit, ASEEC Tower, Kampus Dharmawangsa-B pada Sabtu (18/11/2023) dan Minggu (19/11/2023).
Dr Tamara Curtin Niemi, selaku World Health Organization (WHO) Representative of Indonesia hadir menjadi keynote speaker membawakan materi seputar Global Threats pada acara konferensi internasional ini. Diketahui, Tamara bekerja pada bidang public health emergencies, krisis dan konflik lebih dari 20 tahun di wilayah Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan Asia. Terhitung sejak Mei 2022, dia memimpin emergency program di WHO Country Office Indonesia.
Pada awal materi, Tamara memaparkan data dan scope wilayah yang terjangkit oleh penyakit menular yang muncul dalam rentang waktu 2003 hingga 2022. Seperti, ebola, nipah, MERS, flu burung kolera, dan demam berdarah yang menjadi berita utama global. Terbaru, dunia juga diserang oleh virus Covid-19.
Lebih lanjut, Tamara menjelaskan secara umum bahwa penyebaran penyakit menular disebabkan oleh evolusi patogen virus dan bakteri yang berevolusi begitu cepat. Sehingga, menyebabkan munculnya strain baru yang seringkali lebih ganas atau resisten terhadap pengobatan atau vaksin yang ada. Menurutnya, evolusi yang cepat ini juga dapat mempersulit upaya pencegahan atau pengobatan.
“Penyakit yang berasal dari suatu belahan dunia dapat dengan cepat menjadi pandemi global seperti yang ditunjukkan oleh COVID-19. Dan pengalaman pribadi saya saat ini, resistensi antimikroba, penyalahgunaan antibiotik dan agen antimikroba telah menyebabkan berkembangnya strain patogen yang resisten terhadap obat, sehingga sulit untuk mengobati infeksi secara efektif dan meningkatkan risiko kegagalan pengobatan yang meluas,” ungkapnya.
Tamara menyampaikan bahwa maraknya kasus penyakit zoonosis yang berasal dari hewan dan ditularkan ke manusia diperlukan keterlibatan manusia dan hewan, mengingat pemantauan dan pengendalian penyakit zoonosis cukup rumit.
Lebih lanjut, WHO Representative itu menilai bahwa penyebaran penyakit zoonosis juga disebabkan oleh kurangnya pengawasan dan kesiapsiagaan. “Sistem pengawasan penyakit yang tidak memadai di beberapa daerah mempersulit deteksi dini wabah. Kurangnya kesiapan, termasuk persediaan pasokan medis dan peningkatan kapasitas dalam sistem pelayanan kesehatan dapat menghambat respons yang efektif,” pungkasnya.
Terlebih, menurut Tamara penolakan individu atau komunitas untuk divaksin juga dapat menghambat upaya pencegahan penyebaran penyakit dan munculnya kembali ancaman kesehatan masyarakat. Baginya, keraguan terhadap vaksin semakin menjadi kekhawatiran di banyak belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Dalam rekonsiliasi ancaman ini, lanjut Tamara, kita memiliki dapat melakukan pendekatan kesehatan dengan memastikan bahwa setiap orang memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan. Ia juga mengungkapkan bahwa kerjasama tanpa pandang negara, golongan, agama, atau ras menjadi kunci penting.
“Kita perlu berupaya untuk memastikan bahwa kelompok yang paling rentan terhadap penyakit mempunyai akses terhadap perawatan dan tindakan pencegahan yang mereka butuhkan sehingga tidak ada negara yang tidak memiliki akses terhadap tindakan pencegahan seperti vaksin,” tutur Tamara.
Penulis: Aidatul Fitriyah
Editor: Khefti Al Mawalia