Sebagai tindak lanjut dari Sosialisasi Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) terkait Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Universitas Airlangga (UNAIR) pada 5 Januari 2023, Satgas PPKS UNAIR mengadakan sosialisasi di seluruh fakultas UNAIR, salah satunya Fakultas Hukum UNAIR (FH UNAIR). Sosialisasi tersebut dilaksanakan pada Jumat (10/3/2023) di Aula Pancasila, Gedung A FH UNAIR dan dihadiri oleh Ketua Satgas PPKS UNAIR, Prof. Myrtati Dyah Artaria, Dra., MA., Ph.D.; Sekretaris Satgas PPKS UNAIR, Tristania Faisa Adam; dan jajaran staf PPKS UNAIR.
Prof. Myrta menjelaskan mengenai “Kebijakan dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan UNAIR”. Saat ini, bahkan di lingkungan kampus UNAIR sekalipun, sering terdapat komentar-komentar tidak menyenangkan dari sesama rekan. Selain mengomentari yang tidak pantas, catcalling juga masih kerap terjadi.
Alur Satgas PPKS
“Mulai dari catcalling, pemerkosaan, hingga pemaksaan pengguguran kandungan. Catcalling itu juga termasuk siulan, decakan, dan sejenisnya yang bernuansa seksual,” ujar Prof. Myrta.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, yang dimaksud dengan kekerasan seksual yaitu setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal. Kemudian, menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang dimaksud dengan tindak pidana kekerasan seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut dan perbuatan kekerasan seksual lainnya.
Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 mengatur tentang sanksi administrasi kekerasan seksual dan UU TPKS mengatur tentang sanksi pidana kekerasan seksual. Selain kedua peraturan tersebut, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga turut mengatur mengenai kekerasan seksual.
“Pasal 4 ayat (1) UU TPKS menjelaskan apa saja yang termasuk ke dalam tindak pidana kekerasan seksual, di antaranya pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik,” jelas Prof. Myrta.
Prof. Myrta menegaskan bahwa korban pelecehan tidak hanya perempuan saja, tetapi dapat juga terjadi kepada laki-laki. Pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja dapat menyebabkan dinamika kerja yang tidak nyaman dan toxic. Namun, sampai saat ini, area kerja masih termasuk ke dalam gray area (area abu-abu) yang terkait dengan budaya permisif sehingga menimbulkan perdebatan apakah hal-hal yang dilakukan termasuk kekerasan seksual atau bukan.
“Cuma dirangkul saja, cuma dicium saja, itu kan tidak menyakiti. Padahal itu termasuk pelecehan. Memegang tanpa persetujuan, berkomentar yang tidak pantas, mengirim gambar yang tidak pantas, dan hal-hal tidak senonoh lain juga merupakan pelecehan yang terjadi, bahkan di lingkungan kampus ini,” ucap Prof. Myrta.
Prof. Myrta juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan tonic immobility. Tonic immobility adalah keadaan di mana seseorang menjadi kaku dan tidak dapat bergerak sebagai respons terhadap rasa takut yang intens. Korban yang mengalami tonic immobility tidak dapat berpikir dengan jernih, sehingga tidak dapat bergerak melawan dan berteriak saat mengalami kekerasan seksual. Adanya kondisi tonic immobility ini justru malah membuat korban kekerasan seksual seringkali dipersalahkan karena tidak melawan, berteriak, atau lari saat mengalami kekerasan, padahal tonic immobility adalah bentuk respons dari rasa shock korban.
“Pelaporan kasus kekerasan seksual juga masih kecil dibandingkan kasus yang benar-benar terjadi. Ada beberapa alasan mengapa korban takut untuk melaporkan kekerasan seksual, antara lain karena trauma mendalam, takut pelaku akan memberikan pembalasan yang lebih berat, khawatir dihujat oleh masyarakat, sampai alasan karena pelaku seakan-akan dianggap sebagai orang yang alim dan baik di mata publik,” terangnya.
Sebagai informasi, untuk alur pelaporan Satgas PPKS UNAIR dapat dilihat pada diagram di bawah ini. Korban yang melapor juga boleh didampingi oleh orang lain yang ia percaya ketika diwawancara oleh Satgas PPKS.
Penulis : Dewi Yugi Arti