Baru-baru ini, Indonesia tengah digemparkan oleh kasus gagal ginjal akut pada anak-anak. Data menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 325 kasus gagal ginjal akut di seluruh Indonesia dan 178 kasus diantaranya meregang nyawa yang sebagian besar diderita oleh anak usia 0-5 tahun (per Selasa, 1 November 2022). Dugaan awal kejadian tersebut disebabkan oleh adanya obat sirup yang dikonsumsi. Oleh karenanya, untuk memperterang dan mengetahui siapa yang seharusnya bertanggungjawab akan kejadian tersebut, Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga kembali menyelenggarakan diskusi terbuka pada Selasa, 1 November 2022 dengan membawakan judul “Merumuskan Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Kasus Gagal Ginjal Akut”. Diskusi tersebut menghadirkan Sapta Aprilianto, S.H., M.H., LL.M. selaku pakar hukum pidana sekaligus Direktur Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Prof. Junaidi Khotib S.Si., Apt., M.Kes., Ph.D. selaku pakar sekaligus Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
Kegiatan tersebut dibuka secara langsung oleh Iman Prihandono, S.H., M.H., LL.M. Ph.D. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Beliau menjelaskan bahwa diskusi ini merupakan permulaan untuk membuka untuk posko pengaduan dan advokasi Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga. “Sebelum membuka kita harus mengetahui dulu dari ahlinya yaitu Prof. Junaidi Khotib. Pak sapta juga akan membicarakan kemungkinan tanggung jawab pidana. Semua itu akan kita rumuskan dan berguna untuk posko pengaduan dan advokasi. Ini juga membuktikan bahwa hukum tidak berdiri sendiri” ungkapnya membuka kegiatan.
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan secara singkat oleh Prof. Junaidi mengenai penyebab terjadinya gagal ginjal akut. Beliau menjelaskan bahwa ketika berbicara mengenai obat-obatan maka mutu merupakan hal utama yang harus diperhatikan, baik dari segi keamanan dan keefektivitasan. Adapun terkait terjadinya kasus gagal ginjal akut secara masif pada anak-anak sampai saat ini memang belum diketahui penyebabnya secara pasti. Namun, berdasarkan hasil investigasi sementara, peluang penyebabnya adalah mutu obat yang digunakan terkait keberadaan etilenglikol dan dietilenglikol pada sediaan sirup. “Padahal kedua senyawa ini tidak boleh digunakan untuk produk obat alias dilarang pada berbagai wilayah karena termasuk toxic substance” jelasnya.
Lebih lanjut lagi, kedua senyawa tersebut memang tidak digunakan sebagai bahan aktif maupun bahan tambahan, tetapi bisa ada dalam kandungan obat sebagai pencemar dari empat bahan tambahan yang biasa digunakan yaitu propilenglikol, polietilenglikol, sorbitol, dan gliserol. Keberadaan empat bahan tambahan tersebut memang sengaja dimasukkan dalam industri farmasi untuk membentuk sediaan obat sirup. “ ini supaya sediaan farmasi tersebut bisa memiliki kekentalan tertentu, mudah dituang, mudah digunakan, tercampur dengan baik, dan akan memberikan konsistensi serta penampilan yang menarik” ujarnya. Akan tetapi, ketika bahan tambahan tersebut mengandung impurities atau pencemar, maka itu juga akan terikut masuk. Keberadaan kandungan pencemar ini diduga karena adanya perubahan asal mula bahan baku yang tidak termonitor secara baik oleh industri farmasi dan/atau lembaga pengawas.
Sapta Aprilianto kemudian menyambung diskusi dengan menerangkan pertanggungjawaban pidana menurut hukum kesehatan. Menurutnya, apabila terdapat suatu perbuatan pidana maka harus dicari tahu penyebabnya. Beliau kemudian menjelaskan, seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana manakala ada perbuatan pidana dan kesalahan pidana yang dilakukan orang tersebut. Ketika unsur perbuatan pidana telah terpenuhi, maka dapat disebut perbuatan pidana. “Dalam kasus ini yang paling penting harus dicari tahu dulu apakah ada kausalitas antara perbuatan dengan kesengajaan, apakah benar cairan di dalam obat tersebut merupakan hal utama penyebab gagal ginjal atau tidak” ujar Sapta. Akan tetapi, terlalu dini untuk menentukan apakah benar telah terdapat hubungan kausalitas karena belum ada investigasi resmi. Dalam memandang masalah ini, setidaknya kemungkinan telah terjadi tindak pidana memang ada sehingga hanya tinggal komitmen penegak hukum untuk menyelesaikannya. Sebagai penutup, Beliau kemudian juga berkomitmen untuk membentuk posko aduan gagal ginjal akut untuk membela masyarakat yang membutuhkan.
Penulis: Dean Rizqullah Risdaryanto