Universitas Airlangga Official Website

Mengulas UU Ketenagakerjaan Dari Segi Akademis

Humas FH (07/03/2025) | Istilah “keadilan” seringkali dilihat hanya dari satu sudut pandang. Melansir buku “Mengenal Hukum Suatu Pengantar” karya Prof. Sudikno Mertokusumo (2010), keadilan merupakan konsep yang subjektif. Artinya, yang adil bagi satu pihak belum tentu adil bagi pihak yang lain. Hal demikian juga terlihat dengan jelas saat permasalahan terkait hak buruh/pekerja di Indonesia ditinjau dari segi akademis. Kali ini, Humas FH diberikan kesempatan untuk mewawancarai Pakar Hukum Perburuhan Universitas Airlangga, Dr. Lanny Ramli—sosok individu yang berani beradvokasi untuk suara buruh dan para perempuan.

Pada tanggal 13 Februari 2025 hingga 6 Maret 2025, Dr. Lanny Ramli mengajar perkuliahan S2 tentang Hukum Perburuhan yang meliputi empat materi sebagai berikut: (1) ruang lingkup Hukum Perburuhan; (2) pengawasan ketenagakerjaan dan jenis-jenis sanksi administratif oleh pengawas; (3) hak-hak normatif pekerja; dan (4) jaminan sosial tenaga kerja. Dari keempat materi yang dipaparkan, terdapat satu topik yang cukup menarik untuk digali lebih dalam—hak pekerja.

Merujuk pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tercantum hak-hak yang dimiliki oleh pekerja, termasuk hak atas uang pesangon jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”). Namun, apabila kualitas pekerjaan yang dihasilkan oleh buruh yang bersangkutan tidak sesuai dengan ekspektasi yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja bersama, sehingga pengusaha/perusahaan memilih untuk memecat pekerja tersebut—apakah adil bagi pengusaha/perusahaan untuk tetap memberikan mereka pesangon, padahal pekerja tersebut tidak menjalankan kewajiban sebagaimana telah diharapkan oleh pengusaha/perusahaan? Menanggapi hal ini, Dr. Lanny Ramli berpendapat bahwa hal tersebut memang tidak adil. Tetapi, beliau menambahkan bahwa sebelum terjadinya PHK, buruh tersebut harus terlebih dahulu diberikan surat peringatan. “Dalam praktek maupun di dalam aturan-aturan yang biasanya dicatat di peraturan perusahaan serta di perjanjian kerja bersama, untuk menuju ke PHK—yang biasanya disebut pemecatan—itu merupakan jalan terakhir,” jelas Dr. Lanny Ramli (10/03/2025).

Tidak dapat disangkal bahwa pada sejak dahulu, hak pekerja selalu disuarakan. Hingga kini, mayoritas ahli dalam dunia akademik juga terus mengkritik UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja yang terlalu berpihak pada pengusaha. Namun, Dr. Lanny Ramli tidak termasuk dari salah satu ahli yang berpandangan seperti demikian. Sebaliknya, Beliau berpendapat bahwa UU Ketenagakerjaan telah mengatur serangkaian peraturan yang melindungi para pekerja/buruh di Indonesia dari tindakan PHK semena-mena. Sebagai seorang pekerja, Dr. Lanny Ramli menekankan bahwa jika seorang pengusaha maupun perusahaan tidak berhati-hati dalam memberhentikan pekerja, “biasanya dengan gampang pekerja itu minta pesangon, ganti rugi segala macam dengan alasan sudah dilindungi oleh Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” jawab Dr. Lanny Ramli sembari menunjukkan bahwa pasal yang dimaksud bermaksud untuk melindungi para pekerja (10/03/2025).

Terlebih dari itu, Dr. Lanny Ramli juga sempat menyinggung tentang banyaknya komplain terhadap nilai upah minimum yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup. “Ingat, namanya itu upah minimum, berarti untuk minimum kebutuhan hidup yang sangat primer,” tegasnya (10/03/2025). Beliau menjelaskan bahwa ia pernah mengikuti Forum Group Discussion (“FGD”) Dewan Pengupahan terkait penentuan upah minimum. “Jadi dalam FGD itu ada dari Akademisi dan Apindo yang mewakilkan perusahaan, Serikat Pekerja yang mewakilkan pekerja, serta pemerintah Indonesia, dan ini semua untuk menentukan upah minimum,” cerita Dr. Lanny Ramli (10/03/2025). Pada dasarnya, FGD tersebut menunjukkan bahwa penentuan nilai upah minimum tidak ditentukan secara sembarang. Melainkan, telah ditentukan melalui serangkaian perhitungan spesifik yang menimbang seluruh aspek kebutuhan hidup primer dari masyarakat Indonesia. “Itu dihitung dari ujung kepala sampai ujung kaki, baik untuk pekerja laki-laki maupun perempuan. Dari mulai ongkos potong rambut, minyak rambut, sampai ke pakaian dalam. Waktu itu untuk pakaian dalam pria, disediakan dua macam merek—Hings dan Swan—dan yang dipilih adalah merek yang lebih mahal. Bahkan perhitungan harga pembalut juga termasuk dalam upah minimum tersebut,” lanjutnya (10/03/2025). Dr. Lanny Ramli berpendapat bahwa alasan nilai upah minimum dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup adalah karena kita menggunakan nilai dari upah minimum tersebut untuk memenuhi hal-hal yang tidak tergolong sebagai kebutuhan hidup yang primer. Misalnya, cicilan motor.

Baca Juga: ALSA English Fair (AEF) Goes to School

“Sebagai pekerja yang hidup di gaji minimum itu mau gak mau harus bisa mengikuti perkembangan zaman—harus bisa maju sendiri. Nama dari undang-undangnya kan ‘Cipta Kerja’, which is job creation. Sehingga, tidak bisa sepenuhnya hanya bergantung pada pemerintah, karena pemerintah itu kan bukan bapak-ibu kandung kita,” tambahnya (10/03/2025). Singgungan terkait over dependence tersebut juga oleh Dr. Lanny Ramli dikaitkan dengan budaya patriarki dunia yang mendorong wanita untuk sepenuhnya bergantung pada pria untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal, dalam rumah tangga, suami-istri seharusnya saling membantu dalam pencukupan kebutuhan finansial. Perkataan realistis yang dilontarkan Bu Dr. Lanny Ramli bukan hanya didasarkan pada pengetahuan Beliau, tetapi juga didasarkan pada kehidupan dan segala pengalamannya. Di samping menjadi dosen, terkadang ia juga membuka pre-order (“PO”) makanan, handuk, dan berbagai barang yang dapat ia jual ke tetangganya sebagai tambahan pemasukan.

“Biasanya itu kalau sudah bulan Oktober, beli katalog di tempat kalender itu. Terus saya tawarkan di toko-toko variasi mobil, terus di toko-toko kembang untuk orang meninggal, ucapan belasungkawa, dan ucapan selamat atas kelulusan, pernikahan ataupun promosi jabatan, dsb. Zaman dulu promonya lewat kalender kan. Tapi sekarang sudah sepi—ganti lain lagi. Kalau waktu sepak bola, jualan topi yang dibordir nama-nama negara. Lalu, waktu saat tidak ada perayaan apapun, jualan handuk yang dibordir nama keliling ke teman-teman,” cerita Beliau (10/03/2025).

Mendengar penjelasan Dr. Lanny Ramli, titik letak permasalahan terberat terkait hak dan kehidupan para buruh bukan pada materiil dari UU Ketenagakerjaan. Melainkan pada diri dan cara pandang setiap orang dalam mengatur serta mengolah kehidupannya masing-masing. “Pemerintah di sini sebagai pihak ketiga untuk mengatur hubungan itu (antara perusahaan dan pekerja) tentang pengupahannya agar tidak terjadi perbudakan seperti zaman dulu,” tutup Dr. Lanny Ramli (10/03/2025).

Penulis: Tiffenie Yantono Widarto

Editor: Masitoh Indriani