Humas (26/11/2022) | Human Rights Law Studies (HRLS) FH UNAIR dan Center for Legal Pluralism Studies (CLeP) FH UNAIR berkolaborasi dalam menggelar seri acara Human Rights Day yang digelar tiap hari Kamis. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka merayakan International Human Rights Day yang diperingati tiap 10 Desember.
Rangkaian acara pertama adalah diskusi yang digelar pada Kamis (17/11/2022) dengan mengangkat topik “Menyelami Masyarakat Adat terhadap Perlindungan HAM dalam Rangka Pembangunan Ibu Kota Nusantara vs. Realisasi Ekonomi 2045.” Mahasiswa FH UNAIR Anna Maria diundang menjadi pemateri pada diskusi tersebut.
Anna menuturkan bahwa hak masyarakat adat banyak yang terpinggirkan dalam pembangunan megaproyek Nusantara. Hal ini dikarenakan bahwa dalam lokasi proyeknya banyak bersinggungan dengan tanah-tanah adat, dan dalam proses pembangunan serta formulasi legislasinya (UU 3/2022 tentang Ibu Kota Negara) tidak melibatkan partisipasi masyarakat adat setempat.
“Padahal, dalam Pasal 18B ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945 menjamin pengakuan konstitusional terhadap hak-hak masyarakat adat. Tetapi, pengejawantahan politik hukum tersebut dalam peraturan perundang-undangan acapkali minim dan sering sering dikalahkan oleh keinginan pertumbuhan ekonomi besar-besaran oleh pemerintah. Megaproyek IKN ini adalah salah satunya,” papar Inspektur Jenderal MYMA FH UNAIR itu.
Anna menuturkan bahwa pengakuan hak masyarakat adat masih sektoral dalam hukum Indonesia. Misalnya pengakuannya dalam urusan hutan adat dalam UU Kehutanan dan Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 yang memperkokoh posisi hak atas hutan adat. Tetapi, belum ada undang-undang yang secara spesifik mengatur terkait masyarakat adat. Anna menambahkan bahwa RUU Masyarakat Adat masih tak kunjung disahkan oleh DPR, menunjukkan lanskap minimnya political will dalam mengakui hak masyarakat adat.
Pemaparan Anna kemudian ditanggapi oleh Joeni Arianto Kurniawan, Ph.D, selaku Direktur CLeP FH UNAIR. Joeni menjelaskan bahwa masyarakat adat memerlukan perlindungan khusus karena kerentanannya, terutama dalam urusan tanah ulayat. Ia menambahkan bahwa lanskap regulasi pertanahan di Indonesia dalam UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria itu sifatnya masih memberangus hak-hak masyarakat adat.
“Jadi pengakuan tanah ulayat itu sebatas tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Padahal, kepemilikan tanah ulayat oleh masyarakat adat itu jauh sebelum Indonesia sebagai suatu negara itu ada. Pengakuan hak atas masyarakat adat di Indonesia itu masih banyak yang simpang siur dan setengah hati,” ujar pakar Hukum Adat itu.
Joeni mengatakan bahwa problematika fundamental dalam megaproyek IKN adalah nihilnya penerapan Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Penerapan FPIC terhadap masyarakat adat ini diperlukan, yakni dimana negara menanyakan masyarakat adat apakah boleh tanahnya dipakai untuk suatu proyek. Jadi, masyarakat adat diberi ruang partisipasi dan persetujuan secara bebas dan terinformasi.
“Hal ini dikarenakan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri (right to self-determination), termasuk dalam memanfaatkan dan menentukan nasib tanah ulayat yang mereka miliki. Jadi hak ini jangan disalahpahami sebagai pintu untuk separatisme, ini adalah otonomi kolektif suatu masyarakat,” tutup Joeni.
Penulis: Pradnya Wicaksana