India merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak kedua di Dunia, melebihi Indonesia yang berada pada posisi keempat. Kedua negara tersebut tentunya menghadapi berbagai macam permasalahan yang hampir sama, salah satunya adalah terkait dengan perdagangan orang. Hal inilah yang kemudian menjadi pembahasan pada Virtual Joint Lecture dengan mengangkat tema “Modern Slavery and Human Trafficking”. Kegiatan yang diselenggarakan pada Jumat, 4 November 2022 tersebut menghadirkan 3 orang pakar untuk membahas dari sudut pandang negara masing-masing, yaitu Riza Alifianto Kurniawan, S.H., MTCP dan Amira Paripurna, S.H., LL.M., Ph.D. dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Prof. (Dr). Shruti Bedi dari Institute of Legal Studies, Panjab University.
Kesempatan untuk menyampaikan materi pertama diberikan kepada Amira Paripurna, S.H., LL.M., Ph.D. dengan sudut pandang dari Indonesia. Beliau menjelaskan bahwa perdagangan orang di Indonesia adalah masalah serius. Setidaknya ada sekitar dua juta dari enam sampai delapan juta pekerja migran Indonesia, kebanyakan adalah perempuan, yang tidak memiliki dokumen lengkap sehingga meningkatkan risiko terjadinya perdagangan orang. Kebanyakan pekerja tersebut ada di berbagai negara seperti, Singapura, Malaysia, Hong Kong, dan negara timur tengah lainnya yang biasanya bergerak dibidang perkebunan, pekerja domestik, manufaktur, konstruksi, perikanan, serta masih banyak lagi. Adapun beberapa tindakan yang biasanya dirasakan ketika terjadi perdagangan orang adalah seperti berlebihan jam kerja, kurangnya dokumen formal, dan upah yang tidak standar. Korban dari perdagangan orang sendiri bisa beragam, mulai laki-laki, perempuan, hingga anak-anak. Dalam kacamata internasional, Indonesia sendiri dipandang belum mampu untuk memenuhi standar perlindungan bagi korban perdagangan orang, tetapi sedang mengusahakannya.
Meskipun demikian, beliau kemudian juga mengingatkan bahwa perdagangan orang berbeda dengan penyelundupan orang. Perdagangan orang dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap orang dengan tujuan untuk mengeksploitasi tanpa harus melewati perbatasan suatu negara dan dilakukan secara paksa. Sedangkan penyelundupan dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap perbatasan negara dengan berbasis transportasi sehingga memerlukan penyebrangan perbatasan secara sukarela. Secara yuridis, Indonesia sudah memiliki Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan sudah meratifikasi Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime. Ketentuan hukum tersebut dipandangnya sudah cukup baik karena memberikan perlindungan kepada korban secara terintegrasi yang mencakup rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, bantuan hukum, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, ketentuan tersebut masih dipandang tetapi ada beberapa catatan seperti kurang koheren dengan ketentuan hukum internasional dan kurang konsistensi dalam penerapannya.
Kesempatan untuk menyampaikan materi pertama diberikan kepada Prof. (Dr). Shruti Bedi dengan sudut pandang dari India. Beliau menjelaskan setidaknya ada empat konsep yang dikenal dalam ketentuan hukum di India. Pertama, perbudakan sebagai penggunaan kekuasaan kepemilikan atas seseorang. Kedua, penghambaan (servitude) sebagai paksaan untuk memberikan layanan menggunakan kekerasan. Ketiga, kerja paksa sebagai pekerjaan atau layanan yang dituntut dari seseorang di bawah ancaman hukuman. Keempat, perdagangan orang sebagai tindakan mengatur atau memfasilitasi perjalanan orang lain dengan maksud untuk mengeksploitasi.
India juga memiliki berbagai instrumen yuridis dalam menangani permasalahan perdagangan orang. Bahkan dalam konstitusi India, sebagai hukum tertinggi, memberikan pengaturan melalui Pasal 23 dan Pasal 24 tentang perlindungan terhadap eksploitasi serta melarang perdagangan orang, khususnya kepada anak yang belum berusia 14 tahun. Pengaturan yang sama juga bisa diketemukan dalam Kitab Hukum Pidana India seksi 366A, 366B, serta 374 dengan memberikan sanksi pidana yang cukup signifikan. Ketentuan lain yang serupa juga dapat ditemukan dalam berbagai ketentuan hukum seperti, Immoral Traffic (Prevention) Act 1956, Child Labor (Prohibition and Regulation) Act 1986, Information Technology Act 2000, dan Juvenile Justice (Care and Protection of Children) Act 2000. Sebagai penutup, beliau mengutarakan bahwa Indonesia dan India memiliki banyak kesamaan sehingga interaksi seperti ini diharapkan untuk bisa terjalin lagi dengan lebih intens guna merespon dan mencari solusi bersama atas permasalahan hukum yang timbul dalam kasus trafficking.
Penulis: Dean Rizqullah Risdaryanto