Dekan FIB Unair foto bersama dengan dosen dan mahasiswa yang berperan dalam Film Soera ing Baja
Film Soera Ing Baja: Gemuruh Revolusi ’45 akhirnya resmi dirilis oleh Pemerintah Kota Surabaya. Film yang disutradarai Faizal Anwar dan Achmad Zaki Yamani itu diputar di Studio XXI Tunjungan Plaza 1 Surabaya (2/3). “Ini merupakan momentum yang tepat. Soera Ing Baja itu secara harafiah artinya berani menghadapi bahaya. Warga Surabaya menyambut tahun baru dengan semangat dan keberanian untuk menjalani tantangan apapun yang mungkin terjadi di tahun ini,” ujar Wiwiek Widayati, Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata Kota Surabaya (DKKOP).
Sepanjang tahun 2022 ini, DKKOP memang serius mengakselerasi eksosistem perfilman di Surabaya. Ikut berkolaborasi dalam film Koesno: Jati Diri Soekarno, DKKOP menggelar FGD dengan komunitas-komunitas film di Surabaya, yang lantas ditindaklanjuti dengan diselenggarakannya Festival Film Pendek Kota Surabaya. Mentor dan jurinya berasal dari perpaduan sineas-sineas Surabaya dan sineas nasional. Soera Ing Baja menjadi karya pamungkas untuk tahun 2022. “Dalam Soera Ing Baja ini kami mengajak teman-teman komunitas sejarah, reenactor, fotografi, film, media, juga kampus untuk ikut berpartisipasi,” lanjut Wiwiek.
Film yang diproduksi dengan latar sepenuhnya di Surabaya ini melibatkan kurang lebih seratus orang dari beragam afiliasi. Dari kalangan reenactor, tercatat Komunitas Begandring Soerabaia Begandring Soerabaia, Surabaya Combine Reenactor, Bangilers Reenactor, Modjokerto Reenactor, Djombangsche Reenactor, Bali Reenactor, Green Ranger, DRcreations Indonesia, dan Death Rail Hunter. Sejumlah mahasiswa serta akademisi dari Universitas Airlangga dan Universitas Negeri Surabaya juga turut serta, baik sebagai pemeran, periset, maupun sebagai narasumber. Banyak mengambil latar di Lodji Besar Peneleh, warga sekitar kampung Pandean, Plampitan, dan Peneleh pun turut serta sebagai pemeran figuran.
Diproduksi oleh tim yang sama yang sukses membesut film Koesno: Jati Diri Soekarno menembus nomine dokumenter terbaik Festival Film Indonesia 2022, Soera Ing Baja adalah dokudrama yang mengisahkan kronologi peristiwa perang 10 November 1945. Faizal Anwar, sang sutradara, mengatakan bahwa tantangan memproduksi film dokudrama sejarah dan perang sangat kompleks. Terlebih kisah sejarah yang difilmkan adalah peristiwa penting yang telah menjadi pemahaman umum masyarakat. Selain akurasi data-data sejarah, ketersediaan jumlah para pemeran dan perlengkapan mulai dari kostum, properti, hingga detil-detil atribut yang dikenakan para pejuang menjadi aspek penting.
“Kami bersyukur sangat dibantu oleh teman-teman komunitas reenactor di Surabaya. Mereka luar biasa militan, menjiwai betul apa yang mereka perankan. Totalitas mereka selama proses produksi itu saya kira menjadi nyawa dalam film ini,” ujarnya. Faizal memang dikenal sering mendapatkan penghargaan di ajang kompetisi film nasional itu. Di antaranya, Karya Terbaik untuk Penghargaan Gatra Kencana serta Kompetisi Nasional Media Piala Presiden. Pria yang juga menyutradarai dokudrama Koesno: Jati Diri Soekarno itu menambahkan, demi memproduksi dokudrama kolosal seperti Soera Ing Baja ini, dibutuhkan lebih dari sekadar pengalaman. “Wawasan tentang sejarah dan narasi pertempuran sangat dibutuhkan,” ujar Faizal.
Adalah Achmad Zaki Yamani, reenactor asal Komunitas Begandring Soerabaia, yang memperkuat aspek pengadeganan khususnya scene-scene pertempuran. Sebagai asisten sutradara, pria yang telah sejak lama menekuni praktik reenactment (reka ulang) dan juga riset-riset seputar perang kemerdekaan itu menyatakan, Soera Ing Baja seperti miniatur peristiwa perang 10 November itu sendiri. “Selama proses pembuatan film, teman-teman benar-benar lepas. Artinya, yang aslinya berprofesi sebagai jurnalis, pengajar, pelajar, anggota TNI, buruh pabrik, PNS, bahkan walikota sekalipun, kita menyatu sebagai arek-arek Suroboyo. Kita berkomitmen untuk mewujudkan film ini sebaik-baiknya, ” ujar Zaki.
Dalam film dokudrama berdurasi satu jam lebih itu, Zaki juga bertindak sebagai narasumber. Sejumlah fakta-fakta penting yang jarang diketahui publik, dikemukakan secara runtut lengkap arsip pendukung yang otentik. Di antaranya, arsip pemberitaan Resolusi Jihad di surat kabar, arsip resmi laporan kematian Brigadier Mallaby yang baru dapat dibuka pada 2022, arsip Surat Penetapan Pemerintah Republik Indonesia tentang Hari Pahlawan pada 1946, serta dokumen asli pidato Presiden Soekarno saat peresmian Tugu Pahlawan pada 10 November 1952. “Film ini adalah gambaran peristiwa yang terjadi pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia di Surabaya hingga terjadinya palagan nasional pertempuran Surabaya. Hingga pemerintah pusat menetapkan 10 November menjadi hari Pahlawan dan membangun tugu pahlawan untuk mengenang peristiwa besar itu,” pungkas Zaki.
Sejumlah mahasiswa dan akademisi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga pun tak ketinggalan bermain akting. Salah satunya adalah Diyah Setyowati dapat peran sebagai anggota laskar putri Surabaya. Mahasiswi prodi Bahasa dan Sastra Inggris itu mengaku dapat pengalaman baru. Terlebih banyak ilmu terkait sejarawan. “Ada scene yang saya perankan. Proklamasi Kemerdekaan RI ternyata pakai bahasa Madura juga,” terangnyi.
Bahkan, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Prof Purnawan Basundoro, melihat Soera Ing Baja sebagai fakta baru dalam sejarah perfilm-an. Sebab menampilkan sebuah dokumen pembenaran tentang kematian Brigadir Mallaby. Dan itu baru terkuak pada tahun 2022 ini. “Ini menunjukkan ada fakta baru tentang sejarah yang sebelumnya belum pernah ada ternyata ada dalam film ini,” ujarnya.
Soera Ing Baja nantinya akan diputar secara terbuka di museum-museum di Surabaya, sebagai salah satu media edukasi sejarah untuk publik seluas-luasnya (*)
Penulis: Kukuh Yudha Karnanta & Jihan Rafifah