Universitas Airlangga Official Website

Dosen FK UNAIR Beri Penyuluhan Tentang DBD di Bintan, Kepulauan Riau

Demam Berdarah Dengue (DBD) menjadi masalah kesehatan serius di beberapa wilayah di Indonesia. Menurut data dari Kemenkes per tanggal 15 Juni lalu ditemukan 45.387 kasus. Sementara jumlah kematian akibat DBD mencapai 432 kasus. Tingginya kasus ini mendorong pakar kesehatan masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR), Dr. Sulistiawati, dr., M.Kes selalu mengedukasi masyarakat di setiap kesempatan.

Seperti dalam acara Airlangga Community Development Hub (ACDH) 2022 di Desa Pengudang, Kecamatan Sebong, Kabupaten Bintan, Riau, pada 19 hingga 22 Juni lalu . Dokter Sulis memberikan penyuluhan mengenai DBD dan pencegahannya kepada ibu-ibu yang hadir.

“DBD ini menjadi perhatian bersama karena setiap tahun kasusnya ada. Apalagi memasuki musim peralihan menuju ke hujan,” terang Dokter Sulis.

Acara ACDH 2022 ini menggandeng berbagai Fakultas di Universitas Airlangga. Dokter Sulis sendiri bergabung dalam kluster kesehatan bersama dengan dosen dari Fakultas Keperawatan dan Fakultas Psikologi. Selain Dokter Sulis, Fakultas Kedokteran juga menerjunkan Linda Dewanti,dr., M.Kes, MHSC., Ph.D yang memberikan edukasi mengenai pneumonia dan diare pada anak-anak.

Tak hanya fakultas-fakultas kesehatan, Fakultas sosial seperti ekonomi dan bisnis juga bergabung untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat terutama ibu-ibu di Bintan.

“Pengmas ini memang sasarannya adalah ibu dan balita. Kami berharap terjadi peningkatan kesehatan dan ekonomi untuk ibu-ibu di Kepulauan Riau ini,” tukasnya. (ISM)

Anak Obesitas Rentan Mengalami DBD Berat

Sebelum tahun 60-an, DBD banyak menjangkit anak-anak di bawah usia 15 tahun. Namun semakin berjalannya waktu terjadi pergeseran. Kini orang dewasa pun juga memiliki resiko sama besarnya. Kendati demikian, tingkat keparahan antara pasien satu dan yang lain akan berbeda.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan DBD ini. Diantaranya respon imun. Kemudian etnis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dokter Sulis, orang yang berkulit putih seperti etnis Tionghoa memiliki resiko DBD berat dibandingkan etnis lain.

Penyakit komorbid juga menjadi salah satu faktor pemberat saat menderita DBD, “Pasien obesitas juga beresiko mengalami keparahan saat terjangkit DBD,” terangnya.

Namun yang paling krusial diantara yang disebut diatas adalah gaya hidup. Gaya hidup yang dimaksud adalah bagaimana pasien mau menjaga tubuhnya saat sakit. Rutin tidaknya pasien konsumsi makanan sehat, minum air putih serta dan obat teratur berpengaruh besar pada tingkat keparahan penyakit.

Mendeteksi penyakit DBD lebih awal juga bisa menekan tingkat keparahan penyakit hingga kematian. Lalu seperti apa gejala DBD yang bisa diketahui.

Gejala DBD diantaranya panas naik turun selama 3-7 hari. Namun yang perlu diwaspadai DBD adalah Ketika di lingkungan sekitar sudah ada orang yang terjangkit DBD, baik di lingkungan rumah maupun lingkungan sekolah. Didukung dengan kondisi cuaca yakni terjadi di musim penghujan.

Kemudian terjadi pendarahan. Keluar bintik-bintik merah dan mual, pusing, meriang dan sakit perut karena pembengkakan liver.

“Jadi kalau gejala diatas muncul di fase satu minggu ini kita harus berhati-hati. Apalagi sampai terjadi kejang. Jangan sampai terlambat mengirim ke rumah sakit karena resikonya bisa fatal,” tukasnya.

Saat gejala demam terjadi, pasien boleh minum pereda panas seperti parasetamol diiringi dengan minum air putih yang banyak. Namun jika panas tak kunjung turun, segera bawa pasien ke rumah sakit untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut dan pengobatan tepat. (ISM)