Universitas Airlangga Official Website

Ancaman Penyakit Kuning pada Ikan Lele Surutkan Harga Jual

Ikan lele sebagai ikan air tawar bercita rasa nikmat dengan menu populernya pecel lele atau lalapan lele menjadi primadona masyarakat. Sulit sekali untuk menolak aroma kelezatan olahan ikan lele. Selain dagingnya, hampir seluruh bagian tubuh ikan lele dapat diolah, seperti tulang, kulit, dan kepala. Inovasi olahan ikan lele semakin digencarkan untuk memaksimalkan potensi ikan lele. Olahan tersebut, seperti keripik kulit, keripik tulang, biskuit, dan lainnya. Potensi besar ikan lele dapat mendorong para pembudidaya ikan lele untuk meningkatkan produktivitas ikan lele. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Tahun 2022 bahwa produksi ikan lele di Indonesia sebesar 1,06 juta ton dengan nilai Rp18,93 triliun pada 2021. Secara rinci, produksi ikan lele berasal dari perairan tangkapan umum sebanyak 34.915,83 ton dengan nilai Rp1,13 triliun dan hasil budidaya sebanyak 1,03 juta ton dengan nilai Rp17,79 triliun (Widi., 2022). Berbagai metode telah dilakukan untuk mempermudah budidaya ikan lele, mulai dari budikdamber, budidaya kolam terpal, aquaponik, RAS, dan bioflok (Dahliana., 2023).

Ikan lele sehat berwarna hitam, aktif dan lincah. sumber: penyulihpi.blogsopt.com

Permasalahan dalam budidaya ikan lele yaitu serangan penyakit. Adanya wabah penyakit dapat menimbulkan kerugian besar pada budidaya ikan lele. Salah satu jenis penyakit yang harus diwaspadai pada budidaya ikan lele yaitu penyakit Jaundice atau lele kuning. Penyakit lele kuning (Jaundice) sangat mudah dideteksi secara langsung karena apabila terserang seluruh tubuh berwarna kuning, ikan tampak lemas, dan kurang nafsu makan. Penyakit lele kuning disebabkan oleh tingginya kadar bilirubin dalam serum darah ikan. Organ hati ikan lele tidak mampu untuk memproses perombakan sel darah merah secara efisien. Bilirubin tidak ditransfer secara baik dari hati yang akan disekresikan ke usus melalui saluran empedu. Warna kekuningan berasal dari bilirubin yang tersebar pada kulit, mata hingga membran mukus (Hastuti dan Subandiyono., 2012).

Pemicu penyakit lele kuning

Penyakit lele kuning tidak serta merta timbul tanpa adanya pemicu. Faktor yang memicu yang menyebabkan kenaikan kadar bilirubin yaitu akibat pemberian pakan yang kurang higienis. Ikan lele membutuhkan pakan yang mengandung nutrisi lengkap, mulai dari lemak, protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral dengan kadar yang sesuai. Kualitas pakan juga dipengaruhi oleh bagaimana cara pakan tersebut disimpan. Agar zat gizi dalam pakan tak berkurang pakan sebaiknya disimpan di tempat yang tidak lembab agar tidak berjamur. Sebanyak apapun kuantitas pakan dalam satu wadah, apabila terdapat sedikit jamur maka seluruh pakan tidak dapat diberikan ke ikan. Jamur mengandung mycotoksin dan miselium yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Miselium jamur dapat menyebar ke seluruh pakan dalam satu wadah tersebut.

Ikan lele yang terkena penyakit kuning (Jaundice). Sumber: indiamart.com

Infeksi penyakit jelang panen

Penyakit lele kuning dapat menginfeksi seluruh ikan dalam sebuah kolam dan menginfeksi ikan pada 2,5-3,5 bulan dari benih berukuran 5-7 cm Masalah ini menjadi simalakama bagi para pembudidaya karena jika ikan terlalu awal dipanen ukurannya tidak sesuai dengan permintaan pasar. Akan tetapi, jika terlalu lama tidak dipanen ikan lebih rentan terserang penyakit. Tidak semua pembudidaya memanen ikan dalam waktu bersamaan, adapun pembudidaya memanen ikan apabila ada permintaan dari konsumen. Jika terlalu banyak ikan yang terinfeksi penyakit kuning maka tidak ada pilihan lagi bagi pembudidaya selain  menjual ikan dalam kondisi sakit. Ikan lele yang terinfeksi Jaundice sebaiknya tidak dikonsumsi oleh manusia karena selain ada penyakit kuning, terdapat infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus sp. yang dapat menginfeksi manusia.

Turunkan harga jual lele

Ikan lele yang terinfeksi penyakit lele kuning jika dijual kepada konsumen tentu saja sangat tidak menarik untuk dibeli. Seluruh tubuh ikan berwarna kuning dan terlihat tidak segar. Strategi pedagang untuk mengantisipasi hal tersebut yaitu dengan menurunkan harga ikan lele hingga 50%. Harga yang murah dapat meningkatkan daya tarik masyarakat untuk membeli ikan lele, namun mayoritas masyarakat lebih memilih untuk tidak membeli ikan lele tersebut.

Baca juga: Mengenali Bahan Palsu pada Pakan Ikan Budidaya

Wabah penyakit Jaundice secara tidak langsung dapat menurunkan harga ikan lele di pasaran. Kematian massal ikan lele akibat Jaundice juga menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi pembudidaya. Merosotnya harga ikan lele juga merembet pada pelaku usaha kuliner atau olahan yang menggunakan ikan lele sebagai bintang utamanya. Rendahnya harga jual ikan lele dapat menghambat produktivitas budidaya ikan, karena pembudidaya tidak balik modal untuk kembali memulai siklus baru budidaya.

Alternatif pakan berkualitas

Para pembudidaya yang terkena wabah Jaundice dianggap kurang memiliki pengetahuan dalam mengelola pakan. Budidaya ikan lele dianggap mudah untuk dilakukan, karena ikan lele memiliki daya adaptasi yang tinggi pada lingkungan dan bersifat omnivora. Akan tetapi, tidak sembarangan bahan pakan dapat diberikan pada ikan lele. Harga pelet yang tinggi, mendorong pembudidaya untuk menggunakan pakan alternativ. Bahan pakan seperti runcah dan jeroan dapat diberikan pada ikan lele, namun harus memperhatikan kualitasnya. Pemberian runcah dan jeroan juga tidak dapat dilakukan secara keseluruhan dalam satu siklus budidaya.

Baca juga: Potensi Larva Lalat Tentara Hitam Sebagai Bahan Pakan

Pelet berkualitas tinggi tetap diberikan secara berkala. Penyimpanan pakan juga menjadi hal yang penting untuk menghindari kontaminasi patogen. Pakan dengan zat gizi lengkap dibutuhkan untuk pertumbuhan ikan, lebih baik lagi apabila ditambah imunostimulan dan probiotik. Pengetahuan secara mendalam mengenai pakan, kualitas air, dan kesehatan ikan sangat dibutuhkan bagi pembudidaya ikan lele. Terutama bagi pemula, agar menghasilkan ikan lele yang berkualitas tinggi dan memiliki harga jual tinggi di pasaran.

 

Penulis: Diva Desmieta (Mahasiswa S1 Akuakultur FIKKIA)

Editor: Avicena C. Nisa