Remaja yang saat ini tergolong sebagai generasi Z merupakan remaja yang sedang berada pada fase pencarian identitas dan jati diri. Secara umum, gen Z merupakan kelompok generasi yang lahir tahun 1997-2012. Tidak sedikit remaja yang berani mengeksplorasi diri secara luas terkait apapun yang akan dilakukan kedepannya. Termasuk generasi Z yang sedang membangun “identitas” di mata publik.
Pembentukan diri bagi mahasiswa dipengaruhi oleh berbagai aspek, mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan pertemanan/perkuliahan, hingga penggunaan sosial media. Berbagai aspek tersebut memiliki peran yang penting dalam hal eksplorasi yang akan dilakukan oleh mahasiswa. Ekspresi peran tersebut berupa eksplorasi yang berdampak positif sehingga menampah kapasitas dan kemampuan diri, atau bisa juga berupa eksplorasi negative yang malah menyusahkan diri.
Fenomena yang belakangan terjadi khususnya di Indonesia terkait eksplorasi diri mahasiswa dikenal sebagai Fear Of Missing Out (FOMO). Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Dr. Dan Herman pada tahun 1996 dan diterbitkan pertama kali makalah akademis dengan topik FOMO pada tahun 2000 pada The Journal of Brand Management. Sesuai dengan artinya, FOMO adalah suatu rasa takut tertinggal daripada sosialnya.
Penelitian Andrew K. Przybylski, dkk dalam judul “Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out”, menjelaskan bahwa FOMO merupakan suatu ketakutan atau kecemasan dari seseorang atas ketertinggalan sehingga menimbulkan keinginan kompulsif dari orang tersebut untuk mengharuskan dirinya berada dilokasi tertentu dan ikut mengalami kejadian yang ada disana sama seperti orang lainnya.
Faktanya, dilingkungan perkuliahan istilah FOMO ini seringkali diperbincangkan dan dilakukan. Mengapa bisa begitu? Ya, dapat diketahui bersama dunia perkuliahan merupakan tempat lazim untuk membangun “identitas” bagi mahasiswa. Banyak mahasiswa FOMO yang tidak mau kalah dari temannya, ingin selalu menjadi sorotan, dan haus pengakuan dari lingkungan sekitar. Menurut saya, FOMO dalam dunia mahasiswa juga sangat dipengaruhi oleh penggunaan media sosial seperti Instagram atau Tiktok.
Seperti yang sudah umum terjadi, saat ini sosial media menjadi tempat untuk flexing atau ajang pamer kehidupan khususnya bagi remaja seusia mahasiswa. Hal ini menjadi faktor utama munculnya sikap FOMO dikalangan mahasiswa. Survei sebelumnya yang dilakukan oleh KOMINFO (2017), juga mendukung pernyataan ini bahwa hasil survei menunjukkan usia 20-29 tahun menjadi pengguna media sosial terbanyak yang mana usia tersebut termasuk rentang usia mahasiswa.
Seperti contoh pada fakta yang terjadi, banyak mahasiswa yang berbondong-bondong untuk nongkrong di cafe yang sedang viral. Padahal itu bukan merupakan kebutuhan primernya, bahkan hingga ada yang memaksakan diri padahal tidak sesuai dengan pribadi dan kondisi ekonominya. Contoh lain yakni mahasiswa yang FOMO akan cara berpakaian seperti memaksakan diri untuk membeli baju, tas, sepatu, atau pernak-pernik yang serupa dengan milik orang lain. Meskipun harga yang dibanderol untuk pernak-pernik tergolong terjangkau, namun jika hal ini dilakukan berkali-kali bukan tidak tidak mungkin membuat keuangan mahasiswa boncos. Mahasiswa menjadi tidak mengerti prioritas antara kebutuhan dan keinginan.
Bahkan ada contoh nyata yakni mahasiswa yang berbondong-bondong untuk menonton konser dengan biaya yang cukup mahal hanya karena kebutuhan konten sosial media dan butuh pengakuan dari publik.
Sebenarnya berapa sih budget yang harus dikeluarkan bagi mahasiswa FOMO?
Berdasarkan beberapa contoh yang sudah disebutkan diatas saja, untuk satu kali nongkrong di cafe viral bagi mahasiswa perlu menghabiskan uang sekitar Rp30.000 hingga Rp50.000. Ibaratnya bagi mahasiswa FOMO yang selalu haus akan konten dan pengakuan sosial media, nongkrong di cafe viral satu minggu 2 kali, jadi dalam satu bulan bisa 8 kali. Jadi, budget yang harus dikeluarkan hanya untuk ‘membeli pengakuan’ mencapai Rp400.000.
Contoh kedua yang sering terjadi yakni FOMO untuk memiliki baju, tas, sepatu atau pernak-pernik lucu yang serupa dengan milik orang lain. Sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu kebutuhan utama bagi mahasiswa. Rata-rata untuk mengikuti cara berpakaian orang lain, mahasiswa harus mengeluarkan budget kisaran Rp200.000 hingga Rp300.000 untuk setiap baju/tas/sepatu.
Contoh ketiga yakni tiket yang harus dibeli untuk sekali konser adalah berkisar Rp500.000 hingga Rp2.000.000. Sebenarnya menonton konser bukanlah hal yang salah bagi orang yang membutuhkannya dan sesuai dengan ekonominya. Namun berdasarkan fakta yang ada, banyak mahasiswa yang memaksakan untuk membeli tiket konser mahal hanya untuk pengakuan.
Padahal sebenarnya, menurut saya budget yang dikeluarkan untuk nongkrong yang berkisar Rp400.000, meniru gaya berpakaian orang lain yang berkisar Rp300.000, hingga tiket konser yang mencapai hingga Rp2.000.000. Besarnya nilai tersebut dapat dipergunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat. Contohnya seperti mengikuti sertifikasi kompetensi, membeli buku bacaan, membayar biaya kursus/les, atau hal lainnya yang lebih relate dengan dunia perkuliahan sebagai mahasiswa.
Lalu apa saja dampak negatif dari FOMO bagi mahasiswa?
- Kualitas hidup mahasiswa menurun
Menurut saya, dampak serius yang terjadi yakni menurunnya kualitas hidup mahasiswa karena FOMO dapat merenggut kebebasan dari setiap individu khususnya mahasiswa. Sebab, nantinya mahasiswa FOMO akan bergerak hanya sesuai dengan apa yang dilakukan oleh orang lain tidak berdasarkan kebebasan dirinya sendiri. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hyunna Kim dalam judul “Exercise rehabilitation for smartphone addiction” Journal of exercise rehabilitation, yang menyebutkan bahwa kecanduan internet yang menjadi faktor utama FOMO dapat berdampak pada kesulitan individu dalam mengikuti dan menyesuaikan diri di dunia nyata sehingga kualitas hidup dapat menurun ataupun hilang sama sekali.
- Mengganggu kesehatan mental mahasiswa
Kesehatan mental yang terganggu akibat adanya sikap FOMO antara lain dalam bentuk kecemasan, ketakutan, overthinking, ataupun pressure. Menurut saya, hal ini dapat timbul biasanya ketika seorang mahasiswa FOMO yang melihat postingan foto atau video dari temannya yang sedang bersenang-senang. Sehingga mahasiswa FOMO tersebut merasa cemas dan memiliki pressure tersendiri untuk harus menyamai kegiatan yang dilakukan oleh temannya. Hal ini juga didukung oleh survei lain yang dilakukan oleh JWT Intelligence (2012), yang mana usia 18-34 tahun cenderung memiliki FOMO yang lebih tinggi. Usia tersebut merupakan usia mahasiswa pada umumnya. Sehingga hal tersebut dapat mengganggu kesehatan mental dari mahasiswa itu sendiri.
- Menurunkan bahkan menghilangkan rasa percaya diri mahasiswa
Perasaan untuk saling membandingkan antara diri sendiri dengan kehidupan orang lain yang terlihat di sosial media menjadi penyebab utama menurunnya rasa percaya diri bagi mahasiswa. Menurut saya, FOMO akan menyebabkan mahasiswa merasa dirinya lebih rendah dari orang lain ataupun merasa dirinya belum cukup untuk tergabung dalam kehidupan sosial. Hal ini tentu membuat terbatasnya mahasiswa dalam mengembangkan dirinya di dunia perkualiahan yang tentu juga akan menghambat karir perkualiahan.
- Menurunkan produktivitas mahasiswa
Keterbatasan untuk bergerak sesuai dengan jati diri sendiri, membuat mahasiswa FOMO kurang produktif di dunia perkuliahan. Waktu mereka akan habis hanya digunakan untuk mengikuti gaya orang lain dan menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak memiliki korelasi penting dalam hal perkuliahan. Maka dari itu, mahasiswa FOMO pada umumnya memiliki produktivitas yang rendah dalam dunia perkuliahan.
- Keuangan mahasiswa tidak terkontrol dengan baik
Sesuai dengan uraian perkiraan budget mahasiswa FOMO diatas, maka keuangan mahasiswa FOMO akan terbuang ‘sia-sia’ hanya untuk mengikuti tuntutan sosial. Menurut saya, akan menjadi lebih baik apabila keuangan mahasiswa dipergunakan untuk kepentingan investasi jangka panjang seperti biaya sertifikasi kompetensi, kursus, les, ataupun membeli buku bacaan yang lebih bermanfaat untuk memperlancar kegiatan studi perkuliahan.
Lalu bagaimana tips untuk mengatasi sikap FOMO bagi mahasiswa?
- Fokus terhadap dunia nyata daripada dunia maya
Sebab dunia maya merupakan ladang flexing bagi kebanyakan orang saat ini, maka mengapa tidak kita sebagai mahasiswa lebih baik fokus pada dunia nyata? Menurut saya, fokus terhadap dunia nyata akan menjadi lebih baik karena sebagai mahasiswa yang produktif perlu memiliki pola berfikir dan bersikap yang realistis dan tidak terlena dengan iklim kehidupan di dunia maya.
- Membatasi penggunaan gadget dan sosial media
Bukan berarti meninggalkan gadget dan sosial media, namun menggunakan hanya sesuai dengan kebutuhan. Contohnya, ketika kuliah hendaknya fokus terhadap kuliah dan tidak bermain sosial media, setelah kuliah sifatnya hanya cek sosial media yang tidak lebih dari 15 menit setiap kali membuka sosial media. Hal ini juga akan bermanfaat bagi kesehatan mental dan ketenangan jiwa bagi mahasiswa dalam menjalani studi perkuliahan.
- Fokus terhadap tujuan utama kuliah
Hal ini akan selalu menjadi reminder bagi mahasiswa bahwa tujuan utamanya diusia remaja bukanlah mendapatkan pengakuan popularitas dari publik, melainkan meningkatkan value dalam diri sendiri hingga kita dapat dikenal dan diakui oleh publik sebagai mahasiswa yang memiliki kapasitas ilmu pengetahuan yang tinggi.
- Fokus terhadap value diri sendiri
Tidak harus selalu membandingkan diri sendiri dengan orang lain, akan membuat mahasiswa semakin sadar terhadap value yang dimiliki oleh diri sendiri. Tentu hal ini akan mendorong mahasiswa menjadi lebih produktif karena rasa percaya diri akan value diri sendiri semakin tinggi.
- Menjadi diri sendiri
Kalau sebelumnya masih mengikuti kehidupan orang lain, mengapa kita tidak menjadi orang yang diikuti dan menginspirasi? Yap, tidak ada salahnya kita membangun identitas diri dengan menjadi diri sendiri. Hal ini jauh akan lebih baik dan lebih memudahkan mahasiswa dalam bergerak sesuai dengan jati diri dan kapasitas diri sendiri. Sejauh mahasiswa bergerak dalam hal yang positif, maka lingkungan sekitar akan terinspirasi dan menjadikan kita sebagai role model dalam hal positif.
Author : Ahmad Danang Sagita