fbpx

Universitas Airlangga Official Website

Potensi Antimalari Ekstrak Kulit Pterocarpus indicus Willd. terhadap Plasmodium Falciparum Strain 3D7

Malaria adalah penyakit tropis yang paling banyak ditemukan di ~100 negara dan 2,4 juta orang. Setiap tahun, 100 juta kasus malaria dilaporkan di Asia Tenggara, dan Indonesia menyumbang 70% dari jumlah tersebut. Di daerah yang terkena dampak, strain Plasmodium falciparum yang resisten terhadap klorokuin (CQ) telah muncul akibat meluasnya penggunaan CQ untuk melawan malaria falciparum. Selain itu, resistensi terhadap obat antimalaria lainnya juga telah muncul. Kemunculan resistensi obat secara global terhadap obat antimalaria yang paling mudah diakses dan murah sangat memprihatinkan dan membutuhkan pengembangan kemoterapi baru yang dapat dengan mudah disimpan dan diberikan serta tidak mahal. Pengobatan herbal tradisional dapat menjadi alternatif pengobatan yang murah. Tanaman digunakan untuk menyembuhkan malaria setidaknya di tiga benua: berbagai negara di Afrika, Amerika, dan Asia.

Pterocarpus indicus adalah tanaman tropis yang dapat mencapai ketinggian 15 m dan digunakan sebagai tanaman obat tradisional. untuk mengobati luka kanker, diuresis, radang tenggorokan, luka, dan luka ringan. Tanaman ini juga digunakan sebagai antimalaria, antidisentri, antidiare, astringen, dan pencahar serta obat kumur. Daun, kayu, kulit kayu, dan akar P. indicus dapat digunakan dalam bentuk rebusan atau ekstrak kasar untuk mengobati berbagai penyakit umum, seperti bisul, biang keringat, batu kandung kemih, diare, disentri, sariawan, dan luka sifilis. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengungkap khasiat obat dari P. indicus karena mengandung komponen kimia antibakteri seperti alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, dan triterpenoid.

Status Indonesia sebagai negara tropis dengan megabiodiversitas tidak membebaskan Indonesia dari ancaman penyakit endemis, salah satunya malaria. Gigitan nyamuk Anopheles betina dapat menularkan parasit malaria yang berpotensi fatal kepada manusia. Pada tahun 2018, 228 juta kasus dilaporkan secara global dengan 405.000 kematian. Kelompok usia yang paling rentan terhadap infeksi malaria adalah anak-anak berusia <5 tahun, yang menyumbang 67% (272.000) dari semua kematian terkait malaria secara global. Spesies nyamuk P. falciparum, P. ovale, P. malariae, P. malariae, P. knowelesi, dan P. vivax sering menginfeksi manusia. P. falciparum adalah yang paling berbahaya di antara keempat spesies tersebut karena dapat menimbulkan berbagai gejala sisa yang signifikan, termasuk malaria otak, anemia berat, gagal ginjal, dan gangguan yang mengancam jiwa lainnya.

Di setiap daerah endemis malaria, parasit P. falciparum telah berkembang dan beradaptasi, menghasilkan strain baru dengan potensi menginfeksi nyamuk yang lebih baik dan resisten terhadap obat. P. falciparum strain 3D7 adalah strain yang mudah beradaptasi yang berasal dari Afrika. P. falciparum strain 3D7 adalah isolat sensitif CQ yang sering digunakan dalam penelitian antimalaria. Di beberapa lokasi endemis, terapi malaria dengan CQ dan antifolat (sulphadoxine-pirimetamin) sudah tidak efektif lagi. P. falciparum dapat mengalami resistensi terhadap berbagai obat antimalaria, termasuk CQ. Oleh karena itu, masyarakat yang tinggal di daerah endemis beralih ke tanaman obat untuk mengobati malaria.

Berbagai pelarut, termasuk n-heksana, etil asetat, dan etanol, telah digunakan untuk maserasi kulit kayu selama ekstraksi. Ekstrak etanolik dari kulit kayu Pterocarpus erinaceus menunjukkan aktivitas antimalaria yang baik dengan konsentrasi penghambatan setengah maksimal (IC50) sebesar 1,27 g/mL. Alkaloid, antrakuinon, flavonoid, dan terpenoid juga diyakini memiliki aktivitas antimalaria. Kulit batang P. indicus mengandung terpenoid, yang dapat menghambat bakteri dengan cara melisiskan membran sel bakteri. P. indicus dianggap sebagai tanaman obat yang bermanfaat karena berbagai macam fitokimia yang dikandungnya. Namun, penelitian mengenai sifat antimalaria dari ekstrak kulit batang P. indicus masih langka. Sektor farmasi, khususnya sektor obat herbal, dapat mengambil manfaat dari temuan penelitian ini.

Hasil penelitian dari Retnosari et al (2023) menyatakan bahwa nilai IC50 ekstrak n-heksana, etil asetat, dan etanol 96% berturut-turut adalah 7,14; 4,0; dan 0,65 g/mL, yang menunjukkan aktivitas antimalaria yang kuat. Alkaloid, flavonoid, tanin, fenol, dan terpenoid adalah beberapa zat kimia aktif yang ditemukan dalam ekstrak kulit kayu P. indicus. dalam penelitian ini. Temuan ini menunjukkan bahwa ekstrak kulit kayu menunjukkan sifat antimalaria bahkan dalam bentuk mentah. Dengan demikian, senyawa yang diisolasi dari P. indicus tampaknya sangat penting untuk penelitian antimalaria berikutnya.

Di sini, kemampuan ekstrak kulit batang P. indicus untuk menghambat pertumbuhan P. falciparum termasuk dalam kategori aktif dan sangat aktif. Ekstrak kulit batang P. indicus menunjukkan penghambatan P. falciparum yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak daun P. erinaceus yang menunjukkan penghambatan yang moderat atau kurang kuat (nilai IC50 = 16-30 g/mL). Selain itu, ekstrak kulit kayu P. erinaceus tidak menunjukkan aktivitas antimalaria. Komponen aktif lebih mudah larut dalam n-heksana daripada etil asetat dan etanol 96%, sesuai dengan IC50 fraksi n-heksana yang lebih tinggi daripada etil asetat dan ekstrak etanol 96%. Ada kemungkinan bahwa molekul yang terpisah bertanggung jawab atas aktivitas antimalaria atau bahwa bahan aktif memiliki kelarutan yang sama dalam air dan kloroform. Alkaloid dipisahkan karena merupakan obat antimalaria yang potensial dan tergantung pada pH, alkaloid dapat larut dalam pelarut organik dan air.

Hasil ini menunjukkan potensi pengembangan P. indicus menjadi kandidat obat antimalaria baru. Namun, menentukan senyawa dan strategi penghambat penularan yang mendasari pengendalian malaria dari ekstrak P. indicus sangat penting untuk penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu, mengisolasi senyawa dari tanaman ini penting untuk mengidentifikasi antimalaria yang efektif. Mengisolasi komponen bioaktif dari tanaman obat berdasarkan penggunaan tradisional atau data etnomedisin sangat menjanjikan untuk menemukan obat antimalaria yang efektif. Dalam hal ini, P. indicus yang memiliki bioaktif tinggi, yang banyak tumbuh di Indonesia, berpotensi menjadi sumber untuk alternatif obat yang lebih murah.

Penulis: Hery Purnobasuki

Sumber referensi: https://tjnpr.org/index.php/home/article/view/2590/3231