Belut sawah merupakan salah satu komoditas perikanan air tawar yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat sehingga belut sawah memiliki prospek pasar dan nilai ekspor yang tinggi. Belut sawah yang dipasarkan umumnya berasal dari belut hasil tangkapan alam dan hasil budidaya. Belut sawah yang berasal dari hasil tangkapan memiliki resiko terserang parasit yang lebih tinggi dibandingkan belut sawah hasil budidaya di lingkungan terkontrol. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan belut sawah hasil tangkapan alam memiliki resiko lebih tinggi terserang parasit salah satunya yaitu pakan alami dan media hidup belut sawah. Pakan alami dapat menyebabkan belut terserang parasit sebab dimungkinkan belut yang berasal dari hasil tangkapan dialam memakan pakan alami yang berperan sebagai agen pembawa (inang antara). Belut sawah yang berasal dari hasil budidaya dapat terserang parasit dikarenakan kondisi lingkungan yang buruk dan tidak sesuai dengan kondisi awal belut sehingga mengakibatkan belut terinfeksi patogen. Kualitas air yang menurun dapat menyebabkan belut stress dan dapat menurunkan daya tahan tubuh belut sehingga memudahkan patogen untuk menginfeksi. Keberadaan penyakit parasit yang tidak diketahui oleh pembudidaya dapat mengakibatkan pembudidaya banyak mengalami penurunan kualitas dan kuantitas produk sehingga berdampak pada kerugian ekonomi dalam budidaya.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey langsung pada penangkap dan pembudidaya belut sawah. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak dua kali dipenangkap belut sawah dan pembudidaya belut sawah. Total sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 120 ekor belut sawah dengan ukuran panjang tubuh 37,7 ± 2,5 cm. parameter utama yang diamati yaitu jenis parasit, nilai prevalensi dan intensitas parasit yang menginfeksi belut sawah hasil tangkapan alam dan budidaya.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa 14 ekor belut sawah hasil tangkapan alam terinfeksi endoparasit Eustrongylides ignotus dan Pingus sinensis dan 3 ekor belut sawah hasil budidaya yang terinfeksi endoparasit Pingus sinensis. Cacing E. ignotus yang ditemukan, secara makroskopis memiliki tubuh silindris memanjang dengan warna putih-kemerahan dengan panjang tubuh 40-50 mm dengan bagian anterior yang terlihat lebih runcing dibandingkan dengan 36
bagian posterior dari cacing tersebut, sepertiga bagian tubuh larvanya berwarna merah muda sampai merah, sementara sisanya berwarna merah cerah, namun jika diamati secara mikroskopis pada bagian anterior terdapat papillae dan saluran pencernaan sedangkan pada bagian posteriornya terdapat 3 lapisan kutikula. Cacing P. sinensis secara makroskopis memiliki tubuh silindris memanjang berwarna putih dengan panjang tubuh 5-8 mm dengan bagian anterior yang terlihat lebih bulat dibandingkan dengan bagian posterior dari cacing tersebut, namun jika diamati secara mikroskopis pada bagian anterior berbentuk chepalic end rounded yang dilengkapi dengan empat sub-median papillae, nerve ring, esofagus, ventrikulus dan bagian posteriornya terdapat lubang anal, ekor dan uterus.
Tingkat prevalensi infeksi pada belut sawah hasil tangkapan alam sebesar 23,3 % yang termasuk dalam kategori Often (Sering) dan tingkat prevalensi infeksi pada belut sawah hasil budidaya sebesar 5% Occasionally (Kadang). Nilai intensitas infeksi pada belut sawah hasil tangkapan alam 1,5 dan nilai intensitas infeksi pada belut sawah hasil budidaya sebesar 1 sehingga keduanya termasuk dalam kategori Low (Rendah). Tingginya nilai perhitungan prevalensi dan intensitas belut sawah hasil tangkapan alam tersebut dapat disebabkan belut sawah hasil tangkapan alam memiliki potensi terinfeksi parasit lebih besar dari belut sawah hasil budidaya sebab pakan belut sawah hasil tangkapan alam tidak terkontrol. Pakan yang dimakan oleh belut sawah hasil tangkapan alam dapat berperan sebagai agen pembawa (inang antara) endoparasit yang menginfeksi. Selain itu, tingginya nilai perhitungan prevalensi cacing E. ignotus dan P. sinensis pada belut sawah hasil tangkapan dikarenakan beberapa faktor antara lain tingginya nutrien tanah, tingginya densitas annelida (Lumbricus variegatus, Tubifex tubifex, dan Limnodrilus sp.) yang berperan sebagai inang antara endoparasit didalam tubuh.
Sebaliknya, rendahnya nilai prevalensi dan intensitas belut sawah hasil budidaya ini dapat terjadi sebab pakan belut sawah hasil budidaya lebih terkontrol sehingga dapat menekan infeksi endoparasit yang tumbuh didalam tubuh belut sawah yang dibudidayakan. Nilai intensitas yang tergolong dalam kategori rendah (Low) menyebabkan belut tidak menampakkan gejala klinis akibat adanya infeksi cacing endoparasit. Hal ini disebabkan karena tingkat intensitas yang rendah, apabila tingkat infeksinya tinggi maka dapat mempengaruhi daya tahan dan tingkat stress inang sehingga inang tersebut akan menampakkan gejala klinis akibat infeksi endoparasit tersebut Selain itu tingkat intensitas yang tinggi dapat mengancam keberhasilan budidaya sebab pemeliharaan ikan dalam jumlah yang banyak pada area yang terbatas, menyebabkan lingkungan tersebut potensional dalam penyebaran penyakit infeksi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Spesies parasit yang menginfeksi belut sawah (Monopterus albus) hasil tangkapan alam dan budidaya di Banyuwangi yaitu cacing endoparasit Eustrongylides ignotus dan Pingus sinensis. Nilai prevalensi dan intensitas infeksi parasite pada belut sawah hasil tangkapan alam lebih tinggi dibandingkan dengan hasil budidaya.
Penulis: Mohammad Faizal Ulkhaq, S.Pi., M.Si.
Informasi detail riset ini dapat dilihat pada tulisan di :
https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/718/1/012013
Y T Januarista, Kismiyati, M F Ulkhaq. 2020. Prevalence and intensity of endoparasitic helminth on swamp eel (Monopterus albus) from natural caught and cultivation. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, Volume 718, 012013, The 3rd International conference on Fisheries and Marine Sciences 10 September 2020, Surabaya, Indonesia