UNAIR NEWS – Melalui PP 79/2014, pemerintah Indonesia menargetkan bahwa paling sedikit 23% energi baru terbarukan (EBT) digunakan dalam bauran energi nasional per 2025 nanti. Untuk mencapai itu, kiwari pemerintah memprioritaskan realisasi hilirisasi batubara yang digadang dapat menekan impor liquified petroleum gas (LPG) rumah tangga dan penggunaan bahan bakar minyak. Tak hanya itu, sumber energi alternatif itu diklaim senada dengan esensi transisi energi, yakni energi yang minim emisi karbon.
Tim redaksi mewawancarai Ketua Pusat Studi Hukum dan Kebijakan EBT FH UNAIR Indria Wahyuni, PhD terkait rencana tersebut. Indria mengatakan bahwa proyek hilirisasi batubara akan mengolah batubara menjadi produk baru, seperti gas dimethyl ether untuk pengganti LPG, sehingga terdapat penambahan nilai dan mutu dari batubara.
“Langkah yang diinginkan pemerintah adalah menciptakan balans dalam mewujudkan komitmen transisi. Di satu sisi mereka tetap ingin menggunakan batubara yang masih melimpah di Indonesia, tetapi menggunakan teknologi supaya penggunaan tersebut dapat menjadi energi bersih,” ujar pakar Hukum Energi pada Minggu (19/6/2022)
Indria mengatakan bahwa manifestasi pemberian kemudahan proyek hilirisasi batubara adalah melalui penetapannya sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) via Perpres 109/2020. Terdapat dua proyek yang telah ditetapkan, yakni proyek gasifikasi batubara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan; dan proyek likuifaksi batubara di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Ia menambahkan bahwa konsekuensi hukum dari penetapan PSN ini adalah kemudahan di berbagai sektor, seperti perizinan, akses teknologi, investasi, hingga pengadaan tanah.
“Terdapat pula ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang memberikan royalti 0% pada perusahaan yang ingin melakukan kegiatan peningkatan nilai tambah batubara. Ini bisa dimaknai sebagai pemberian kemudahan pada hilirisasi batubara. Tetapi kapan pemberian pembebasan royalti ini yang masih menjadi tanda tanya, apakah ketika perusahaan mengajukan di depan atau ketika ada bukti bahwa proyek hilirisasi batubara ini sukses menjadi energi bersih,” ujar alumni University of Birmingham itu.
Namun, Indria juga memberikan catatan kritis pada proyek hilirisasi. Hal ini dikarenakan bahwa pemrioritasan ini malah justru dapat memperpanjang nafas ketergantungan sumber energi Indonesia dengan batubara. Ia menambahkan bahwa politik ekstraksi yang berkelindan pada aktivitas penambangan batubara telah menghasilkan seabrek konflik yang merusak lingkungan dan melanggar HAM masyarakat sekitar. Penekanannya adalah kebijakan pemrioritasan ini hanya melihat solusi transisi dalam jangka pendek saja.
“Indonesia ini kaya akan potensi sumber energi terbarukan seperti surya, angin, dan air. Mendapatkan manfaat dari sumber ini benar-benar bersih, dan minim resiko konflik. Tinggal tugas pemerintah adalah memaksimalisasi pemanfaatannya dengan menghadirkan teknologi-teknologi yang mumpuni, karena kini sumber-sumber tersebut masih kecil sekali proporsi pemanfaatannya. Bila sudah ada sumber EBT yang tidak merusak lingkungan, kenapa kita menggunakan sumber yang merusak?” tutupnya.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan