Universitas Airlangga Official Website

Prof Topo Sebut Hukum Pidana Dapat Berfungsi sebagai Tameng sekaligus Pedang bagi HAM

Prof Dr Topo Santoso SH MH saat menyampaikan materinya dalam seminar nasional. (Foto: Nafiesa Zahra)
Prof Dr Topo Santoso SH MH saat menyampaikan materinya dalam seminar nasional. (Foto: Nafiesa Zahra)

UNAIR NEWS – Fakultas Hukum Universitas Airlangga menggelar Seminar Nasional bertajuk Pembaharuan KUHAP: Menggagas Sistem Peradilan yang Berkeadilan dan Berperspektif Penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) (14/3/2025). Acara ini menghadirkan empat pakar hukum pidana, salah satunya Prof Dr Topo Santoso SH MH dosen Universitas Indonesia yang membahas mengenai KUHP Baru dan Arah Pembaharuan KUHAP yang Berperspektif Penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM).

Dalam pemaparannya, Prof Topo menekankan bahwa hukum pidana dapat berfungsi sebagai tameng sekaligus pedang bagi Hak Asasi Manusia (HAM). Hukum pidana yang tidak dikelola dengan baik berpotensi menjadi alat untuk mengancam HAM, terutama ketika ketentuan pidana dijadikan dasar bagi aparat penegak hukum dalam melakukan tindakan intrusif seperti penyitaan, penggeledahan, atau penahanan. 

“Oleh karena itu, prinsip ultimum remedium dalam hukum pidana harus dipahami sebagai langkah terakhir dalam penyelesaian perkara pidana, bukan sekadar jargon hukum semata,” jelasnya.

Lebih lanjut, Prof Topo menjelaskan bahwa KUHP baru yang telah disahkan membawa perubahan signifikan dibandingkan KUHP lama. Buku I KUHP baru kini mencakup 187 pasal, lebih banyak dibandingkan KUHP lama yang hanya memiliki 103 pasal. Salah satu perubahan besar adalah pergeseran paradigma dari sistem monistis ke dualistis, yang mempengaruhi berbagai aspek dalam KUHAP yang masih dalam proses pembahasan.

“Rancangan KUHAP yang masih dibahas akan sangat menentukan bagaimana ketentuan dalam KUHP baru bisa diterapkan dengan benar. Sayangnya, dengan masa transisi KUHP baru yang hanya tiga tahun dan berbagai dinamika politik seperti pemilu, sosialisasi KUHP baru terhambat. Waktu yang tersisa untuk pemahaman dan implementasi aturan ini menjadi sangat singkat,” ujar Prof Topo.

Salah satu contoh perubahan mendasar adalah ketentuan dalam Pasal 3 KUHP baru yang mengatur bahwa jika terjadi perubahan perundang-undangan setelah suatu perbuatan dilakukan, maka ketentuan yang lebih menguntungkan harus diterapkan kepada pelaku. Hal ini berimplikasi langsung pada sistem peradilan pidana, termasuk dalam tahapan penyidikan, penuntutan, hingga pemidanaan.

“Prinsip hukum yang lebih menguntungkan harus selalu menjadi pedoman dalam sistem peradilan pidana kita. Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana aparat penegak hukum dapat menyelaraskan pemahaman mengenai aturan baru ini, terutama dalam implementasi teknis di lapangan,” jelasnya.

Selain itu, pembaruan dalam KUHP juga mencakup aturan mengenai ruang lingkup berlakunya hukum pidana menurut tempat. Perubahan pada asas teritorial dan perluasan yurisdiksi dalam tindak pidana yang melibatkan teknologi informasi atau wilayah maritim Indonesia memerlukan harmonisasi dengan berbagai undang-undang lainnya. Jika tidak dipahami dengan baik, perbedaan interpretasi di antara aparat penegak hukum dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Prof Topo juga menyoroti perubahan konsep pemidanaan yang kini lebih kompleks. Dalam paradigma baru, pemidanaan tidak selalu menjadi satu-satunya konsekuensi hukum atas suatu tindak pidana. Dengan konsep dualistis, pemenuhan unsur tindak pidana tidak serta-merta berujung pada pemidanaan, tetapi juga dapat mempertimbangkan faktor lain seperti pertanggungjawaban pidana dan kebijakan hukum pidana yang lebih humanis.

“Dalam sistem baru ini, pemidanaan bukan lagi satu-satunya jalan. Kita harus melihat aspek lain seperti tanggung jawab pelaku dan pendekatan hukum yang lebih manusiawi,” ungkap Prof Topo

Di akhir seminar, Prof Topo mengajak seluruh akademisi, praktisi hukum, serta mahasiswa untuk terus mengkaji dan mendalami implikasi dari perubahan KUHP ini. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara akademisi dan aparat penegak hukum dalam menyusun KUHAP yang dapat menjadi instrumen hukum yang lebih berkeadilan dan menghormati hak asasi manusia.

Penulis: Nafiesa Zahra

Editor: Khefti Al Mawalia