UNAIR NEWS – Departemen Bahasa dan Sastra Inggris (Sasing), Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Airlangga (UNAIR) menggelar kuliah tamu bertajuk Gender and Space: The Case of Urban and Cosmopolitan New Delhi pada Jumat (24/5/2023). Kuliah tamu itu berlangsung di Ruang Herodotus, Gedung FIB, Kampus UNAIR-B Dharmawangsa. Gelaran kali ini mengundang Prof Dr Seema Mehra Parihar dari Kirori Mal College, University of Delhi, India.
Dalam pemaparan materinya Prof Seema menyampaikan bagaimana mendefinisikan istilah gender dalam kehidupan masyarakat. Menurutnya, istilah itu memiliki perjalanan sejarah panjang dan jangkauan makna yang luas.
“Dalam bahasa populer, orang sering menyamakan istilah gender dan jenis kelamin. Meskipun biologi atau seks dapat menjadi dasar gender, namun keduanya sangat berbeda dengan seks,” ucap Prof Seema.
Adanya Perbedaan
Istilah seks, lanjutnya, menunjukkan perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki. Sementara gender menyangkut pemahaman individu tentang peran mereka sebagai laki-laki dan perempuan. Yang mana, pemahaman itu sebagian besar berasal dari struktur masyarakat.
Lebih lanjut, profesor asal University of Delhi itu beranggapan bahwa gender melibatkan perilaku masyarakat yang kemudian menciptakan, membentuk, dan menghargai gagasan feminitas dan maskulinitas.
“Istilah tersebut sering disalahgunakan bahkan untuk membedakan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk biologis rasio gender sebagai lawan rasio jenis kelamin. Sementara, perlu dicatat bahwa seks dan gender tidak lagi dilihat sebagai objek yang mandiri. Sehingga, hal tersebut menyebabkan tumpang tindih dan orang-orang yang merasa bahwa identitas gendernya tidak selaras dengan seks biologisnya akan diidentifikasi sebagai intergender,” ujarnya.
Terbatas Peran
Tidak hanya mengungkapkan pemaknaan dan cara gender terbentuk, Prof Sheema juga menjelaskan bagaimana kondisi perempuan India yang memiliki peran terbatas dan tidak sebanding dengan laki-laki.
“Masih banyak yang memperdebatkan ruang biner menjadi publik dan privat sebagai hasil dari penguatan ideologi di tangan perempuan melalui konfigurasi spasial,” pungkasnya.
Sebagai contoh, lanjutnya, pekerjaan pertanian yang sering perempuan lakukan sambil membawa anak ke ladang. Berbanding terbalik dengan beberapa lokasi perkotaan jalan umum yang pada dasarnya kehadiran laki-laki mendominasi.
Dengan demikian, menurut Sheema, ruang tidak lagi hanya terlihat secara abstrak atau subjektif atau diskursif, namun ia memiliki realitas eksistensial. Sehingga, ketegangan atau batasan epistemologis antara space (non real) dan place (real) menjadi semakin buram.
“Ada bingkai sedemikian rupa dalam kerangka kerja, ruang, dan tempat yang saling interaktif. Sehingga membuka potensi kedudukan yang terpendam terlibat secara kritis dengan struktur gender dan patriarki. Begitulah ranah gender diberlakukan, dibentuk, dan disusun kembali dalam mediasi dengan konteks ruang tertentu,” ujarnya.
Di akhir materi, Sheema juga menyampaikan bahwa penting mempelajari gender khususnya bagi para perempuan. Mengingat, perempuan masih sering mendapatkan diskriminasi, bahkan hingga pelecehan baik di ruang private maupun ruang publik. (*)
Penulis: Aidatul Fitriyah
Editor: Binti Q Masruroh