UNAIR NEWS – Pengusaha yang juga filantropis Dato’ Sri Prof. Dr. Tahir, MBA memberikan studium generale bertajuk ‘Strengthening Industry-Academia Linkage for the Better World’, Senin (14/3) di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen Universitas Airlangga (UNAIR). Ia mengawali studium generale dengan menceritakan awal mula ia terlibat di dunia filantropi.
“Menjadi orang kaya atau pengusaha besar hanyalah proses bukan tujuan. Menjadi kacau ketika kita mencampuradukkan antara tujuan dan proses. Tujuan hidup saya adalah menciptakan nilai tambah bagi orang banyak,” ujarnya. Prinsip Tahir, manusia harus menjadi benar terlebih dahulu untuk bisa melakukan hal-hal yang benar.
Lahir dari orang tua yang memiliki usaha penyewaan becak di Surabaya, masa kecil Tahir memang dilalui dengan penuh perjuangan. Di satu kesempatan kemudian, ia mengaku menyaksikan sebuah tayangan televisi yang menggambarkan seorang anak busung lapar yang mengusik hatinya.
“Saat itu saya bilang kepada diri saya, kalau suatu saat saya mampu, saya akan perbaiki ini. Ternyata Tuhan mendengar doa saya,”
Ketika mulai terlibat di dunia filantropi, pria yang mendapat gelar kehormatan Dato’ Sri dari Kesultanan Pahang, Malaysia ini kemudian memilih dunia pendidikan dan kesehatan untuk memulai kegiatan-kegiatan filantropinya.
“Tidak ada negara yang mengklaim dirinya sebagai bangsa besar jika pendidikannya tidak baik,” tambahnya. Melalui Tahir Foundation-nya, ia juga dikenal aktif memberikan bantuan untuk meningkatkan kualitas dunia kesehatan di tanah air.
“Saya bersuka cita ketika uang yang saya berikan dipakai untuk memperbarui healthcare,” ujar pria yang juga anggota Board of Trustees University of California, Berkeley ini.
Menurutnya, ia memang tidak bisa memilih lahir dari orang tua atau keluarga mana, namun ia meyakini bahwa ia bisa memilih untuk menjadi orang yang baik atau orang yang jahat. Lahir menjadi orang Indonesia, ia ingin kehadirannya bisa memberikan sumbangsih bagi negeri ini.
“Sebelum Tuhan menghentikannya saya, saya akan terus berjuang,” ujarnya.
Skema Professorship
Tahir mengaku gemas dengan universitas-universitas di Indonesia yang masih belum mampu menunjukkan tajinya. Peringkat universitas di Indonesia yang masih belum bisa menembus lima ratus besar dunia menjadi buktinya.
“Di Indonesia ini, kampus tidak punya endowment. Bagaimana mau bisa berkembang?” ujarnya. Ia pun menyarankan UNAIR untuk mulai terbuka dan menjalin banyak kerjasama dengan kalangan pengusaha.
Ia juga mendorong UNAIR untuk mulai mengembangkan skema professorship sehingga para guru besar yang dimiliki UNAIR bisa memperoleh bantuan dari para pengusaha dalam berbagai kegiatan risetnya. Menurutnya, sebuah universitas bisa baik ketika risetnya juga baik.
Di akhir stadium generale tersebut, Tahir yang sempat terlibat di IKOMA UNAIR mengatakan bahwa dulu dirinya sempat mendaftarkan diri menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran UNAIR, namun ia justru diterima di Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi. Ia selanjutnya batal menjadi mahasiswa UNAIR ketika kemudian diterima menjadi mahasiswa di Nanyang Technological University, Singapura.
“Semoga UNAIR semakin baik ke depannya,” pungkasnya. (*)
Penulis : Yeano Andhika