Universitas Airlangga Official Website

Psychological Capital dan Adverse Selection pada Pengambilan Keputusan Penganggaran Modal yang Melibatkan Situasi Eskalasi

Foto by Lektur ID

Seringkali individu memulai suatu tindakan yang dari waktu ke waktu menunjukkan sinyal akan gagal namun tetap melanjutkan tindakan tersebut terlepas dari masalah yang terjadi  Dalam situasi ini, umumnya individu ‘terjebak’ untuk tetap bertahan pada suatu tindakan meskipun mendatangkan masalah yang lebih buruk. Perilaku ini dikenal luas dengan istilah eskalasi komitmen. Menurut Bazerman (1994), eskalasi komitmen didefinisikan sebagai sejauh mana individu akan meningkatkan komitmen terhadap tindakan yang telah dipilih sebelumnya sampai di luar titik batas model pembuatan keputusan rasional. Eskalasi komitmen dapat terjadi pada berbagai situasi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dunia bisnis, eskalasi komitmen juga dapat terjadi. Sesuai dengan prinsip rasionalitas ekonomi, pengambilan keputusan yang rasional adalah keputusan yang dapat memaksimalkan keuntungan bagi perusahaan. Namun kenyataan di praktik justru memperlihatkan bahwa manajer cenderung memutuskan untuk tetap mengalokasikan sumberdaya pada proyek atau investasi yang secara prinsip ekonomis sebenarnya telah gagal dan tidak memenuhi ekspektasi tujuan awal.

Pengambilan keputusan investasi yang melibatkan pengalokasian sumber daya merupakan salah satu keputusan yang penting dalam perusahaan. Hal ini dikarenakan konsekuensi atas keputusan tersebut akan dirasakan dalam beberapa tahun ke depan dan dapat memengaruhi keadaan finansial perusahaan secara dramatis. Dengan terjadinya eskalasi komitmen pada dunia bisnis, maka tidak mengherankan apabila fenomena ini telah dicatat sebagai fenomena yang penting dan menonjol atas berbagai kegagalan keputusan organisasi yang kontroversial.

Sejak eskalasi komitmen pertama kali diformulasikan pada area riset oleh Staw pada tahun 1976, telah banyak peneliti memaparkan berbagai penjelasan teoretis atas penyebab dari terjadinya eskalasi komitmen. Menurut Street & Street (2006) penelitian mengenai eskalasi komitmen selama ini terlalu didominasi oleh pendekatan teori yang bersifat afektif, yakni teori self-justification. Salah satu rerangka teori lain yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena eskalasi komitmen adalah teori keagenan.

Di lain sisi, hasil uji empiris atas pengkaitan perilaku eskalasi komitmen dengan karakteristik individu masih belum terlalu mantap karena meski sudah banyak dieksplorasi masih ditemukan tidak adanya hubungan antar variabel yang diteliti dan bahkan terdapat inkonsistensi temuan. Termotivasi dari pernyataan Whyte dan Saks (2007) yang menyebutkan bahwa determinan psikologi merupakan hal yang sentral pada fenomena eskalasi, Narsa dan Narsa (2021) menguji variabel individual yang terhitung baru dikembangkan dan msaih jarang diuji pada konteks eskalasi komitmen, yakni variabel individual yang bersifat state-like dengan nama Psychological Capital (selanjutnya akan disebut PsyCap). PsyCap terdiri dari empat konstruk, yakni self-efficacy, optimism, hope, dan resilience. PsyCap merupakan konstruk yang menangkap kapasitas psikologi positif individu yang dapat diukur, dikembangkan, dan dimanfaatkan untuk peningkatan kerja. Bukti empiris banyak menunjukkan hasil bahwa PsyCap memiliki hubungan yang positif terhadap positive attitudes seperti job satisfaction, organizational commitment, dan staying intentions. Meski demikian tidak menutup kemungkinan bahwa PsyCap yang tinggi juga dapat membawa outcomes yang tidak diharapkan, seperti misalnya perilaku eskalasi komitmen yang diuji pada penelitian Narsa dan Narsa (2021).

Pengeksplorasian determinan variabel individual tersebut juga tetap mempertimbangkan variabel kontekstual perusahaan, karena seperti yang diungkapkan oleh Berg dkk. (2009) agar dapat menjelaskan fenomena eskalasi secara keseluruhan maka penting untuk mempertimbangkan hubungan keagenan yang muncul dalam konteks pengambilan keputusan organisasi. Untuk dapat memahami perilaku suatu individu di lingkungan kerja, penting untuk mempertimbangkan baik pengaruh dari faktor individual maupun situasional, sehingga adalah hal yang menarik pula untuk melihat bagaimana interaksi antara kedua jenis variabel tersebut (Saks & Ashforth, 2000). Oleh karenanya penelitian ini juga akan menguji determinan struktural berupa kondisi adverse selection. Manipulasi keadaan adverse selection akan menempatkan partisipan sebagai manajer yang mengalami kondisi asimetri informasi dan incentive to shrik serta tidak mengalami keduanya.

Informasi mengenai performa buruk hanya diketahui oleh manajer proyek sendiri dan tidak akan diketahui pihak lain baik di dalam perusahaan maupun di industri merupakan kondisi asimetri informasi, sedangkan kondisi dimana partisipan merupakan manajer proyek junior yang masih membangun reputasi dan baru-baru ini partisipan menerima tawaran pekerjaan dari perusahaan lain dengan kenaikan gaji yang substansial – namun tawaran tersebut akan ditarik apabila manajer gagal dalam proyeknya sehingga reputasi manajer juga akan menjadi buruk – merupakan kondisi dari incentive to shrink. Narsa dan Narsa (2021) memanipulasi level perlakuan tersebut ke setiap partisipan secara random.

Hasil pengujian Narsa dan Narsa (2021), yang pertama, ditemukan bahwa semakin tinggi level PsyCap seseorang, maka semakin tinggi pula kecenderungan individu tersebut untuk melakukan eskalasi komitmen. Kedua, individu yang ditempatkan pada kondisi terjadi asimetri informasi dan terdapa incentive to shrink, semakin membuat mereka cenderung pula untuk melakukan eksalasi komitmen. Meski demikian, temuan uji interaksi antara PsyCap dan keadaan adverse selection menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Hal tersebut berarti bahwa individu dengan level PsyCap yang tinggi merupakan individu yang cenderung untuk bertindak secara jujur dan menghindari perilaku oportunistik.

Penulis: Niluh Putu Dian Rosalina Handayani Narsa,

Link: The Effect of Adverse Selection and Psychological Capital on Decision Making Involving Escalation Situations: An Experimental Study