Universitas Airlangga Official Website

Psychological Talk Ulas Kekerasan Seksual dari Kacamata Psikologi Gender

Dr Salina binti Nen dari Universiti Kebangsaan Malaysia memaparkan materi dalam Psychology Talk Series (Foto: Tangkapan Layar Zoom)
Dr Salina binti Nen dari Universiti Kebangsaan Malaysia memaparkan materi dalam Psychology Talk Series (Foto: Tangkapan Layar Zoom)

UNAIR NEWS –  Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia, Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Airlangga (UNAIR) menggelar Psychological Talk Series. Kegiatan ini merupakan seri pengajaran daring yang secara khusus membahas topik dan tren terkini seputar kesehatan mental. Kegiatan ini berlangsung perdana pada Senin (21/10/2024) dan akan terselenggara selama lebih dari dua pekan. Kali ini, Psychological Talk membahas seputar psikologi gender.

Berkolaborasi dengan UCSI University Malaysia, acara ini sukses menggandeng beberapa pembicara. Dr Salina binti Nen dari Universiti Kebangsaan Malaysia hadir sebagai salah satu pemateri pada hari kedua. Dr Salina berkesempatan membawakan materi mengenai kekerasan seksual dalam perspektif bidang psikologi gender. 

Psikologi gender, papar Dr Salina, adalah salah satu pendekatan yang berguna untuk memahami pelecehan seksual. Pendekatan ini mengeksplorasi perilaku dan dinamika sosial yang terbentuk oleh peran gender, bukan sebagai stereotip. Melainkan sebagai norma yang tertanam kuat dan berkontribusi pada ketidakseimbangan otoritas antargender.

“Meskipun ada banyak perspektif untuk memahami kekerasan seksual, seperti perspektif sosiologis, psikologis, fenomenologis, dan lainnya, fokus hari ini adalah pada cara psikologi gender membantu kita memahami masalah ini dengan lebih baik. Jika kita ingin mengatasi kekerasan seksual secara efektif, sangat penting untuk mempertimbangkan perspektif ini. Dengan begitu, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih baik untuk pencegahan dan intervensi,” ujarnya. 

Dr Salina mengungkapkan bahwa peran gender mungkin saja berbeda di beberapa budaya. Tetapi, masih ada norma tertentu yang dapat berlaku secara universal. Misalnya, pada laki-laki. Laki-laki sering menghadapi ekspektasi yang mengharapkan mereka untuk selalu menjadi penyedia, pelindung, dan pemimpin.

Sebaliknya, perempuan biasanya dipandang sebagai sosok pendukung, bergantung, dan emosional.  “Contohnya, di beberapa masyarakat, perempuan masih terdorong untuk memprioritaskan pernikahan dan menjadi ibu di atas ambisi pribadi. Jika seorang perempuan mengungkapkan keinginannya untuk berkarir, ia mungkin akan menghadapi kritik karena tidak fokus pada keluarganya,” ungkapnya. 

Selanjutnya, Dr Salina menyampaikan bahwa banyak sekali faktor yang mendorong terjadi nya kekerasan seksual berdasarkan perspektif psikologi gender. Dua di antaranya adalah maskulinitas toksik (toxic masculinity) dan budaya menghakimi korban (victim blaming). 

Menurut Dr Salina, toxic masculinity memainkan peran penting dalam berkontribusi terhadap aksi pelecehan seksual dalam suatu komunitas. Beberapa perilaku yang terkait dengan toxic masculinity ini termasuk agresi, dominasi terhadap perempuan, dan penindasan emosional. 

“Aspek berbahaya lain dari toxic masculinity adalah tekanan pada anak laki-laki dan laki-laki untuk menekan emosi, yang mengarah pada penahanan emosi. Hal ini dapat merusak tidak hanya pada individu tetapi juga pada hubungan dan interaksi mereka dengan orang lain, yang berpotensi berkontribusi pada perilaku agresif atau kasar,” imbuhnya.

Sedangkan victim blaming terjadi ketika masyarakat menganggap korban pelecehan seksual bertanggung jawab sebagian atau sepenuhnya atas pelecehan tersebut. Ia menambahkan bahwa dalam victim blaming, korban akan sering menghadapi pertanyaan yang menyiratkan bahwa mereka dapat mencegah pelecehan tersebut. 

“Hal ini dapat menyebabkan trauma sekunder, karena korban terpaksa untuk membenarkan tindakan atau pilihan mereka, daripada menerima dukungan yang mereka butuhkan,” pungkasnya. 

Penulis: Nadia Azahrah Putri

Editor: Yulia Rohmawati