Universitas Airlangga Official Website

Ramai Meme ‘Haji Thoriq’ di Media Sosial, Bagaimana Sejarah Gelar Haji di Indonesia?

Ilustrasi pelaksanaan ibadah haji (Foto: Unsplash)
Ilustrasi pelaksanaan ibadah haji (Foto: Unsplash)

UNAIR NEWS – Fenomena seorang artis yang mendapatkan gelar haji pada usia dua bulan ramai di media sosial. Berbagai tanggapan pun muncul. Ada yang menanggapi dengan serius, dan ada pula yang menganggapnya sebagai hiburan. Hal ini menjadi menarik, sebab penggunaan gelar haji memiliki sejarah tersendiri di Indonesia. Lalu, bagaimana sebenarnya penggunaan sejarah gelar haji di Indonesia?

Dosen Ilmu Sejarah, Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNAIR, Moordiati SS MHum mengatakan bahwa penggunaan gelar haji hanya berlaku di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Malaysia.

“Jadi, penyematan gelar haji ini memang memiliki makna dan sejarah tersendiri ya. Selain itu, penyematan gelar haji hanya ada di Indonesia dan Malaysia,” tutur Moordiati.

Moordiati menerangkan bahwa pada zaman dulu masyarakat dari Nusantara yang melaksanakan ibadah haji tidak memerlukan izin dari pihak mana pun. Pelaksanaan haji pada masa itu lazimnya menggunakan transportasi kapal laut. Hal ini, membuat haji memiliki risiko yang besar dan memerlukan modal yang tidak sedikit. “Dulu kebanyakan orang dari Pulau Aceh yang bisa berangkat ibadah haji. Orang Jawa masih sedikit karena keterbatasan modal,” tuturnya.

Moordiati SS M Hum, dosen Ilmu Sejarah FIB UNAIR beri penjelasan soal tradisi Toron (Foto: Istimewa)
Moordiati SS M Hum, dosen Ilmu Sejarah FIB UNAIR (Foto: Istimewa)

Meskipun memiliki risiko yang besar, jamaah haji Nusantara memiliki ikatan kuat dengan ulama dan masyarakat Timur Tengah yang dilatarbelakangi oleh sejarah kedua bangsa. Ikatan tersebut membuat pemerintah kolonial mengkhawatirkan posisi dan kedudukannya di Nusantara. Pasalnya, para jamaah haji yang kembali dari Timur Tengah membawa semangat pergerakan dan kemerdekaan.

“Atas dasar kekhawatiran itu, pemerintah memutuskan untuk membuat peraturan tentang izin melaksanakan ibadah haji dan penyematan gelar haji untuk mewaspadai orang Nusantara yang sudah melaksanakan ibadah haji,” imbuh Moordiati.

Dengan demikian, pemerintah kolonial mengharuskan orang yang kembali dari Makkah untuk menyematkan gelar haji sebagai penanda. Melalui peraturan itu, masyarakat Nusantara yang tidak mengikuti prosedur dari pemerintah kolonial akan diberikan denda.

Ibadah haji di era saat ini telah mengalami pergeseran makna dengan zaman pemerintah kolonial. Tidak ada kewajiban seperti zaman dulu untuk menyematkan gelar haji pada seseorang ketika orang itu sudah melaksanakan ibadah haji.

“Saat ini, tidak ada peraturan khusus tentang penyematan gelar haji saat ini. Namun karena sudah menjadi budaya, masyarakat tetap menyematkan gelar haji pada seseorang yang sudah melaksanakan ibadah haji,” terang Moordiati.

Moordiati berpesan, penyematan gelar haji memang sudah lazim disematkan pada masyarakat Indonesia yang telah melakukan ibadah haji saat ini. Namun, ia mengingatkan agar hal itu perlu disikapi dengan bijaksana.

“Tidak perlu memaksakan kehendak atau berlebihan dalam menuntut seseorang untuk memanggil dengan gelar haji,” pungkas Moordiati.

Penulis: Muhammad Rizal Abdul Aziz

Editor: Yulia Rohmawati