Universitas Airlangga Official Website

Satgas PPKS UNAIR Beri Sosialisasi pada Para Pimpinan di UNAIR

UNAIR NEWS – Universitas Airlangga (UNAIR) sebagai salah satu PTN terbaik di Indonesia telah membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Sebagai tindak lanjut dibentuknya Satgas PPKS UNAIR, dilaksanakanlah sosialisasi terkait Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 kepada para pimpinan di UNAIR.

Kegiatan tersebut dilaksanakan pada Kamis (5/1/2023) di Ruang 301 Gedung Kahuripan, Kampus MERR C UNAIR. Hadir dalam kegiatan tersebut Ketua dan Sekretaris Senat Akademik, rektor, para wakil rektor, sekretaris, dekan, direktur, dan pimpinan unit kerja di UNAIR.

Peraturan tentang Kekerasan Seksual

Dalam kegiatan tersebut, Ketua Satgas PPKS UNAIR Prof Myrtati Dyah Artaria Dra MA PhD mengawali materi sosialisasi dengan menjelaskan peraturan yang membahas isu kekerasan seksual.

“Ada di Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2021, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Permenag Nomor 73 Tahun 2022, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004,” jelasnya.

Kekerasan Seksual di UNAIR

Selanjutnya, Prof Myrta juga menjelaskan tentang ragam kekerasan seksual yang pernah terjadi, mulai dari catcalling hingga pemerkosaan. “Namun, kekerasan seksual ini sering ditanggapi dengan keliru oleh beberapa pihak. Misalnya dengan mewajarkan hingga menyudutkan korban atas terjadinya kekerasan seksual tersebut,” terangnya.

Beberapa tanggapan yang menyudutkan korban kekerasan seksual seperti menyalahkan korban yang tidak melawan, berteriak, ataupun lari. Selain itu, juga menyalahkan korban yang tidak segera visum atau lapor. Tidak sedikit pula tanggapan seperti mengkritisi pakaian korban ketika kekerasan seksual terjadi hingga menyalahkan korban yang dinilai kurang beriman.

Tanggapan-tanggapan inilah yang menjadi salah satu alasan kecilnya jumlah laporan kekerasan seksual.

“Selain itu, trauma yang dialami korban hingga menimbulkan ketakutan pada pelaku juga menjadi alasannya (kecilnya jumlah laporan kekerasan seksual, Red). Terlebih, pelaku terkadang terlihat seperti seseorang yang baik dan alim dalam penilaian publik,” jelas Prof Myrta

Tonic Immobility

Prof Myrta menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual seringkali disalahkan karena tidak melawan, berteriak, ataupun lari saat mengalami kekerasan seksual. Padahal, saat kekerasan seksual itu terjadi korban biasanya mengalami tonic immobility.

Tonic Immobility adalah keadaan yang kaku dan tidak bergerak sebagai respon terhadap rasa takut atau korban tidak bisa berpikir jernih,” terangnya.

Lapor pada Satgas PPKS UNAIR

Selanjutnya, Prof Myrta juga menjelaskan alur pelaporan kekerasan seksual kepada Satgas PPKS UNAIR. Pertama, sesi pertemuan dengan korban, terlapor, dan saksi-saksi yang melibatkan psikolog ataupun psikiater. Kedua, pertimbangan tindakan lanjut berupa rekomendasi dan kesimpulan kepada Rektor UNAIR. Ketiga, terbit keputusan oleh Rektor UNAIR dan pelaksanaan keputusan tersebut.

Terakhir, Prof Myrta meluruskan asumsi salah yang seringkali dimiliki korban kekerasan seksual kepada Satgas PPKS UNAIR. “Misalnya yaitu korban akan diberi penilaian negatif atau disalahkan, korban tidak boleh didampingi orang yang dipercayanya, hingga Satgas PPKS UNAIR yang akan memberi sanksi begitu saja tanpa mempertimbangkan pendapat korban. Asumsi tersebut salah,” jelasnya. (*)

Penulis : Tristania Faisa Adam

Editor : Binti Q. Masruroh