UNAIR NEWS – Perjalanan pendidikan Indonesia mengikuti arus dan gejolak politik yang mewarnai pemerintahan. Pada tahun 1949, berlangsung Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menandai berakhirnya pendudukan Belanda di Indonesia. Tepatnya pada 27 Desember 1949, Belanda secara resmi menyerahkan kembali pemerintahan pada Republik Indonesia Serikat (RIS).
Penyerahan kekuasaan dari Belanda pada pemerintah Indonesia ini telah mendorong terjadinya perubahan formasi dan konstelasi perguruan tinggi. UGM yang merupakan universitas milik Republik Indonesia semakin memantapkan posisinya sebagai universitas nasional.
Sementara itu, Universiteit van Indonesia dinasionalisasi dan berubah menjadi Universiteit Indonesia. Oleh sebab nasionalisasi yang semakin gencar Presiden Soekarno lakukan, dan penghilangan istilah-istilah Belanda, maka perguruan tinggi itu berganti nama menjadi Universitas Indonesia (UI).
Kondisi di Surabaya
Mengutip buku Mendidik Bangsa, Membangun Peradaban: Sejarah Universitas Airlangga, sampai pada tahun 1950, Surabaya belum memiliki universitas sendiri. Hanya terdapat perguruan tinggi dengan status fakultas, yaitu fakultas kedokteran dan lembaga kedokteran gigi. Keduanya merupakan fakultas cabang dari Universitas Indonesia di Jakarta yang sebelumnya telah dinasionalisasi dari pihak Belanda.
Oleh karena minimnya masyarakat yang berpendidikan, pada tahun 1951, dua tokoh masyarakat Surabaya, Mr Boedisoesetya dan Mr I Gondowardojo menginisiasi pembukaan sekolah hukum untuk para pegawai berijazah sekolah menengah yang masih ingin melanjutkan pendidikan. Selanjutnya, berdiri Yayasan Perguruan Tinggi Surabaya dengan pemrakarsanya yakni Walikota Moestadjab, Doel Arnowo, Roeslan Wongsokusumo, dan Mr Sjarief Hidayat. Sejak saat itu, statusnya kemudian menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Hukum Surabaya
Perguruan tinggi ilmu hukum itu kemudian resmi beroperasi. Namun, memasuki tahun kedua muncul masalah legalitas ijazah dan penyelenggaraan ujian sebab sekolah swasta ketika itu tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Dewan dosen dengan persetujuan yayasan perguruan tinggi berpendapat bahwa kesulitan ini akan dapat teratasi dengan cara menggabungkan diri dengan universitas negeri. Atas petunjuk Mr Pringgodigdo, maka dimulailah pembicaraan dengan UGM di Yogyakarta yang diwakili Prof Mr Drs RM Notonegoro.
Penggabungan Dua Universitas
Dari hasil diskusi tersebut, pada akhir tahun 1953, Perguruan Tinggi Ilmu Hukum Surabaya bergabung dengan UGM. Perguruan tinggi ini kemudian menjelma menjadi cabang Fakultas Hukum, Sosial, dan Politik UGM di bawah pimpinan Pringgodigdo. Kesulitan soal legalitas ijazah kemudian bisa teratasi. Sejak saat itu, maka di Surabaya terdapat dua fakultas cabang dari perguruan tinggi berbeda, yakni Fakultas Kedokteran UI dan Fakultas Hukum, Sosial, dan Politik UGM.
Kendati demikian, keberadaan dua perguruan tinggi cabang di Surabaya itu masih belum sepadan dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1950-an. Saat kondisi negara berangsur-angsur pulih, Pemerintah Indonesia berinisiatif untuk mendirikan perguruan tinggi baru di beberapa kota, termasuk Surabaya.
Surabaya menjadi fokus karena menurut Menteri Pendidikan saat itu, Muhammad Yamin, kota ini sudah memiliki fasilitas pendukung yang memadai, misalnya beberapa laboratorium dan pernah menjadi pusat penyelidikan gula. Selain itu, di kota ini juga ada infrastruktur pendukung berupa gedung NIAS warisan kolonial.
UNAIR Resmi Berdiri
Dengan latar belakang itulah, pemerintah mendirikan sebuah universitas yakni Universitas Airlangga. Kampus ini diresmikan pada Rabu 10 November 1954, bertepatan dengan Hari Pahlawan. Peresmian diawali pidato Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Mohammad Yamin.
Berdirinya UNAIR ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 57 Tahun 1954 yang berlaku pada 10 November 1954. Kemudian peraturan tersebut ditetapkan di Jakarta 1 November 1954 oleh Soekarno. Dalam peraturan pemerintah itu, UNAIR terdiri dari FK dan Lembaga Kedokteran Gigi di Surabaya, Fakultas Hukum Sosial dan Politik di Surabaya, Perguruan Tinggi Pendidikan Guru di Malang, dan Fakultas Ekonomi di Surabaya.
Sejak saat itu, UNAIR resmi menjadi perguruan tinggi pertama yang berdiri selepas bubarnya RIS dan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara teknis, pendirian universitas ini adalah menggabungkan dua perguruan tinggi, yakni UGM sebagai perguruan tinggi milik republik, dan UI di bawah Belanda. Dengan demikian, jika mengutip dalam buku Mendidik Bangsa, Membangun Peradaban: Sejarah Universitas Airlangga, universitas ini disebut juga sebagai universitas pemersatu.
Penulis: Yulia Rohmawati