Universitas Airlangga Official Website

Seminar FIB dan MSI Jatim Ungkap Peran Kebangsaan Soetomo dan Tjokroaminoto di Surabaya

Seminar FIB UNAIR dan MSI Jatim lewat Zoom Meeting, Sabtu (25/5/2924) (Foto: Screenshoot Zoom Meeting)
Seminar FIB UNAIR dan MSI Jatim lewat Zoom Meeting, Sabtu (25/5/2924) (Foto: Screenshoot Zoom Meeting)

UNAIR NEWS – Dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional, Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Jawa Timur bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) menggelar seminar. Seminar itu bertajuk “Peran Kebangsaan dr Soetomo dan HOS Tjokroaminoto di Surabaya”. Kegiatan seminar berlangsung secara daring pada Sabtu (25/5/2024) dan diikuti puluhan peserta dari berbagai daerah di Indonesia.

Hadir sebagai pembicara, Dr Samidi MHum sejarawan yang juga Dosen Program Studi Ilmu Sejarah UNAIR. Selain itu, hadir pula Prof Dr Purnawan Basundoro MHum, Ketua MSI Cabang Jawa Timur sekaligus Dekan FIB UNAIR.

Prof Purnawan dalam sambutannya menyampaikan bahwa selama ini gerakan kebangsaan Indonesia identik dengan Kota Jakarta atau Batavia. Lantaran, setiap tanggal 20 Mei selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Hal itu mengacu pada berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 oleh beberapa siswa STOVIA yang dipimpin oleh dr Soetomo.

“Selama ini, Surabaya identik dengan perang besar melawan pasukan Inggris yang puncaknya pada 10 November 1945. Tanggal tersebut juga ditetapkan sebagai Hari Pahlawan oleh pemerintah,” ujarnya.

Sejak awal abad ke-20 sampai kedatangan tentara Jepang pada Maret 1945, gerakan kebangsaan di Kota Surabaya juga mengemuka. Selepas lulus dari STOVIA dan menjalankan tugas sebagai dokter di berbagai daerah, dr Soetomo kemudian  berkiprah di Surabaya sampai ia wafat. 

Selain Dr Soetomo, tokoh pergerakan terkemuka, HOS Tjokroaminoto pemimpin organisasi Sarekat Islam juga berasal dari Surabaya. Hal itu menunjukkan bahwa Surabaya merupakan kota penting selama periode pergerakan nasional.

Dr Samidi MHum dalam paparannya juga mengungkap peran dan kiprah dr Soetomo. Sebelum menetap di Surabaya, dr Soetomo sempat bertugas ke berbagai daerah, seperti Madiun, Bangil, Batavia, Semarang, Baturaja, Lubuk Pakam, Blora, dan kemudian melanjutkan studi di Amsterdam (Belanda).

Sejak tahun 1923 sampai meninggal pada tahun 1938, dr Soetomo tinggal di Surabaya. Ia menjalankan tugas sebagai dokter, pengajar di sekolah kedokteran Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), serta menjalankan aktivitas kebangsaan yang lain. 

Saat baru saja menetap di Surabaya, lanjut Dr Samidi, dr Soetomo membentuk organisasi Intellectueelbond pada 1923. Organisasi tersebut berganti namanya menjadi Indonesische Studieclub pada 1925, dan kemudian diubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI) pada 1930.

“Terakhir, organisasi tersebut berubah menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) tahun 1937. Perubahan ini sebagai tuntutan mengantarkan perjuangan yang lebih progresif, dari yang bercorak lokal ke nasional,” tutur Dr Samidi.

Lebih lanjut, Dr Samidi mengatakan bahwa prinsip penting yang dapat diteladani dari dr Soetomo adalah selalu memperjuangkan kepentingan rakyat dan selalu menggelorakan kemandirian berdasarkan kegotongroyongan. “Nilai-nilai perjuangan yang ia wariskan ini selalu relevan dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia,” imbuhnya.

Masing-masing prinsip ini telah dipraktikkan dr Soetomo sebagai pemimpin organisasi yang ia bentuk. Bukti konkret kemandirian dan gotong-royong terbukti dengan berdirinya Gedung Nasional Indonesia (GNI) beserta divisi bidang nyata, seperti sekolah, kursus, bank, penerbitan, paguyuban, dan panti asuhan. Selain itu dr Soetomo juga aktif di Muhammadiyah dengan menjadi Kepala Poliklinik Muhammadiyah Surabaya.

Selain dr Soetomo, tokoh pergerakan paling berpengaruh di Surabaya adalah Tjokroaminoto. Menurut Prof Purnawan, membesarnya Sarekat Islam selama berada di bawah pimpinan Tjokroaminoto tidak bisa terlepas dari kondisi sosial dan politik Surabaya pada awal abad ke-20.

Surabaya awal abad ke-20 adalah kota dagang dan industri terkemuka, yang menjadi tempat tinggal bagi kelompok buruh dalam jumlah besar. Sebagian kelompok buruh di kota ini sudah mengenyam pendidikan paling dasar sehingga sudah bisa baca-tulis.

“Kesadaran berorganisasi kaum buruh dan rakyat kecil lainnya di kota ini tidak bisa terpisah dari sepak terjang Tjokroaminoto yang rajin mengumpulkan masa dalam bentuk pertemuan-pertemuan umum atau vergadering,” papar Prof Purnawan.

Selain itu, Tjokroaminoto juga memanfaatkan surat kabar untuk menyebarluaskan gagasannya. Selain menjadi Ketua Sarekat Islam, ia juga merupakan redaktur surat kabar Oetoesan Hindia yang merupakan corong dari Sarekat Islam yang terbit di Surabaya. Melalui surat kabar tersebut, ia menyerukan gerakan kesetaraan antar manusia, dengan cara melawan budaya feodal yang saat itu masih sangat kuat.

Sarekat Islam juga getol membela golongan rakyat miskin, terutama mereka yang tinggal di tanah-tanah partikelir di berbagai kota, tidak terkecuali di Surabaya. “Perlawanan terhadap para tuan tanah yang sangat menekan rakyat miskin penghuni tanah partikelir di Surabaya dipimpin oleh Prawirodirdjo dan Sadikin. Gerakan ini mendapat dukungan penuh oleh Sarekat Islam sehingga mendapatkan kemenangan dalam berbagai gugatan di pengadilan,” jelasnya.

Melalui seminar kolaborasi MSI Cabang Jawa Timur dan FIB UNAIR ini, harapannya dapat membangkitkan kembali ingatan masyarakat Jawa Timur, khususnya Kota Surabaya, mengenai peran sentral para tokoh bangsa dalam memimpin rakyat melawan kesewenang-wenangan penjajah Belanda. 

Penulis: Prof Dr Purnawan Basundoro MHum

Editor: Yulia Rohmawati