UNAIR NEWS – Sebagai upaya pencegahan tindakan kekerasan seksual di lingkungan kampus, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) memberikan edukasi mahasiswa lewat Seminar Pena Asa: Peningkatan Kesadaran Terhadap Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus.
Seminar ini merupakan program kerja Staf Khusus BEM Mendengar di bawah naungan Kementerian Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa (Adkesma) BEM FIB yang bertujuan untuk mengajak mahasiswa mengenali, mencegah, dan menangani tindakan kekerasan seksual baik secara fisik, non fisik, maupun verbal.
Kegiatan tersebut terselenggara secara luring pada Jumat (25/10/2024) di Ruang Herodotus A, Gedung Fakultas Ilmu Budaya, Kampus Dharmawangsa-B, Universitas Airlangga. Sebelum berlangsungnya sesi pemateri, Dr Listiyono Santoso SS MHum selaku Wakil Dekan 1 Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) menyampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada Staf Khusus BEM Mendengar atas inisiasi program yang sangat bermanfaat untuk mahasiswa.
Dr Listiyono juga berharap isu-isu kekerasan seksual di lingkungan kampus mendapat atensi serius, baik dalam memberikan perlindungan kepada korban maupun memberikan sanksi kepada pelaku. “Menurut saya, kegiatan ini cukup luar biasa dan sangat penting supaya teman-teman tidak melakukan tindakan patriarki yang merujuk pada kekerasan seksual. Misalnya, merendahkan, menghina fisik, hingga tindak pelecehan, baik kepada laki-laki maupun perempuan,” ujarnya.
Kesadaraan pada Kekerasan Seksual
Heraldha Savira Dip ABRSM SPsi hadir sebagai pemateri pada seminar tersebut. Beliau mengungkap bahwa masyarakat kurang mengenali tindakan-tindakan kekerasan seksual yang sering terjadi pada mereka. Kekerasan seksual adalah setiap tindakan yang melibatkan pemaksaan, ancaman, atau intimidasi terhadap seseorang untuk melakukan tindakan seksual tanpa persetujuannya.
Ada beberapa jenis kekerasan seksual, yaitu verbal secara ucapan, fisik secara tindakan paksa, seperti menyentuh, mencium, serta memeluk, dan nonfisik lewat media sosial. Kekerasan seksual verbal yang sering menyapa akrab masyarakat tetapi kerap terabaikan adalah catcalling. Biasanya, pelaku akan berusaha memanggil korban dengan bahasa-bahasa seksual yang cenderung melecehkan, tetapi korban cenderung mengabaikannya.
“Kita punya kewajiban untuk menyadarkan mereka (pelaku catcalling) dengan upaya perlawanan karena kadang mereka tidak tahu bahwa hal tersebut adalah tindakan kekerasan seksual. Faktor-faktor, seperti budaya patriarki, ajaran keluarga, dan lingkungan sosial membuat pelaku merasa hal tersebut lumrah dilakukan padahal itu adalah bentuk pelecehan,” tuturnya.
Korban Kekerasan Seksual
Dalam realitas sehari-hari, upaya pencegahan kasus kekerasan seksual tidak selalu berhasil. Pelaku kekerasan seksual akan selalu mencari celah untuk masuk dalam ranah pribadi korban hingga menimbulkan dampak traumatis yang mendalam. Dengan itu, Heraldha memberikan tips penanganan awal korban kekerasan seksual dengan treatment psikologis. Terdapat tiga cara yang beliau paparkan, yaitu teknik relaksasi, teknik butterfly hugs, dan teknik grounding.
“Ketika kalian (korban kekerasan seksual) sudah merasa tenang. Kalian harus menyadari bahwa terkadang kalian membutuhkan orang lain yang lebih expert sebagai tempat bercerita. Jadi, kalau kalian merasa punya suatu hal yang ingin disampaikan. Kalian bisa menghubungi salah satu dukungan konselor, seperti psikolog atau layanan dukungan mental,” pungkasnya.
Penulis: Selly Imeldha
Editor: Edwin Fatahuddin