Universitas Airlangga Official Website

SMHI dan KPS FH UNAIR Singgung Maraknya Kasus KDRT Melalui Diskusi Internal

Moderator (kiri) dan Ekawestri Prajwalita Widiati (kanan) dalam Diskusi Internal SMHI X KPS FH UNAIR. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga. Di Indonesia, kasus KDRT merupakan kasus kekerasan yang sering terjadi, terutama kepada perempuan. Menurut Komnas Perempuan, pada 2020 setidaknya ada 299.911 kasus KDRT terhadap perempuan.

Badan semi otonom Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR), Solidaritas Mahasiswa Hukum untuk Indonesia (SMHI) dan Komunitas Peradilan Semu (KPS) bekerja sama dengan Pusat Studi Human Rights Law Studies FH UNAIR menyelenggarakan diskusi internal pada Sabtu (14/5/2022). Diskusi yang membahas mengenai urgensi penegakan hak asasi manusia pada maraknya kekerasan verbal dalam keluarga tersebut turut mengundang Ekawestri Prajwalita Widiati SH LLM, dosen FH UNAIR, serta Solehati Novitasari SH MH, pendamping kekerasan terhadap perempuan dan anak dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kabupaten Jember.

Diskusi diawali dengan pemaparan materi oleh kedua pembicara yang dilanjut dengan diskusi internal antar peserta mengenai kasus posisi yang telah disediakan. Pembicara pertama, Ekawestri, memaparkan bahwa hipotesis atas masalah peraturan perundang-undangan terkait kasus KDRT bisa ditinjau melalui analisis ROCCIPI.

“Ada banyak faktor yang berkelindan di seputar implementasi peraturan perundang-undangan. Ada faktor lain yang membuat masyarakat itu tidak menghargai hukum, sehingga kita berusaha menjawab pertanyaan itu menggunakan analisis ROCCIPI yang diuji di 20 negara,” tutur Ekawestri.

Analisis ROCCIPI sendiri, sambungnya, yaitu analisis atas rule, opportunity, capacity, communication, interest, process, dan ideology dari suatu masalah perundang-undangan. Melalui analisis tersebut, lanjutnya, alternatif pemecahan masalah yang bisa digunakan dalam kasus KDRT meliputi sosialisasi terkait KDRT antara penegak hukum dan lembaga sosial, memperkuat sub-sistem di luar keluarga, pemberdayaan ekonomi, serta perancangan undang-undangan yang sensitive gender.

Pembicara kedua, Solehati, menjelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya KDRT bisa berasal dari agama, individu, keluarga, ekonomi, pendidikan, teknologi, dan komunitas.

“Pengalaman pendampingan saya, KDRT itu banyak berasal dari keluarga, baik dari keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan. Keluarga (dari suami atau istri, red) biasanya ikut campur dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga itu (pasangan suami istri, red) sendiri,” ujar Solehati.

Solehati juga mengatakan agama merupakan salah satu faktor terbesar terjadinya kasus KDRT, sebab banyak orang yang secara mentah-mentah menafsirkan ayat-ayat agama yang memperbolehkan suami memukul istri. Bentuk-bentuk KDRT, tambahnya, tidak hanya terjadi secara fisik, namun juga psikis, seksual, bahkan penelantaran dalam rumah tangga. Selain suami atau istri, sambung Solehati, KDRT juga dapat terjadi pada anak.

“Ketika mengetahui adanya KDRT, kita harus mencatat, mendengarkan, melaporkan, dan mendampingi penyintas bersama komunitas. Sinergitas dan kolaborasi menjadi kunci dari pentingnya keterlibatan seluruh sektor dalam melakukan proses perlindungan terhadap perempuan,” pungkasnya. (*)

Penulis: Dewi Yugi Arti

Editor: Nuri Hermawan